Zulnas.com, — Silaturahmi merupakan salah satu agenda utama selama momen hari raya Idul Fitri dalam tradisi masyarakat Indonesia. Anak-anak mengunjungi orang tua. Yang muda meminta maaf pada yang lebih tua. Atasan menerima kunjungan bawahan. Para pemimpin menerima kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat yang ia pimpin.
Hal yang sama juga dilakukan oleh H. Musa Rajekshah, Wakil Guberur Sumatra Utara (Wagubsu) yang akrab disapa ‘Ijeck’. Pada lebaran kali ini (1443 H), beliau juga berkenan menerima kunjungan silaturahmi santri Pondok Pesantren Walisongo Ngabar Ponorogo Jawa Timur yang berasal dari Sumatera Utara
Nasehat untuk para santri
Pada Sabtu sore, 7 Mei 2022, di rumah dinasnya yang asri, Wagubsu menerima kunjungan para santri dengan ramah dan akrab. Kepada para santri ia berpesan agar sejak sekarang sudah menentukan apa cita-cita mereka. Agar sejak dini mereka sudah punya rencana hidup yang jelas. Ke depannya mau apa dan sudah mulai menentukan langkah-langkah pencapaiannya.
Selain itu, para santri juga harus membekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan (vokasional) misalnya keterampilan bertani, berkebun, beternak dan sebagainya. Dengan begitu diharapkan selain berbekal ilmu agama, para santri juga memiliki bekal kemampuan untuk mengurus urusan dunia. Jangan sampai nanti ketika sudah keluar pesantren mereka bingung mau kerja apa.
Dengan ketrampilan yang ia miliki, misalnya di bidang peternakan, seorang santri (alumni pesantren) akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Selain sebagai amal kebaikan, hal ini akan mendukung dakwah dan penyebaran ilmu agama yang telah ia miliki kepada masyarakat di sekitarnya.
Pak Wagub juga mewanti-wanti agar para santri tidak alergi dengan politik. Lulusan pesantren diproyeksikan menjadi seorang yang alim dan sholeh/baik. Bila dunia politik diisi oleh orang-orang berilmu dan jujur, insyaallah dunia politik akan menjadi baik. Tapi bila dunia politik tidak diisi oleh orang-orang baik, alamat akan diisi oleh orang yang tidak baik. Akibatnya, Kekuasaan hanya akan dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak baik dengan cara-cara yang tidak baik pula.
Pria kekar berwajah tampan tersebut lebih jauh mengatakan, “Kita ingin masyarakat kita menjadi kompak dan kuat. Selama ini kita menjadi masyarakat yang jumlahnya tidak mencerminkan kekuatannya.
Kebanyakan kita saat ini masih berkutat dalam urusan perut. Kalau masih seperti itu, kita mudah tercerai berai, tidak solid, mudah’lari kesana-sini’. Kanapa hal itu bisa terjadi? Karena kita cenderung lemah secara ekonomi dan tidak mampu atau tidak menguasai keterampilan/kemampuan untuk mengurus urusan dunia.”
Perbincangan akrab dengan orang tua santri
Kehadiran para santri PP. Walisongo didampingi oleh orang tua maupun pengurus Ikatan Alumni Pondok Pesantren Walisongo wilayah Sumatra Utara (IKAPWS SUMUT) yang diketuai oleh Rahman Hidayat SAg. Rahman bertanya kepada Ijeck, “Apakah Pak Wagub memiliki anak yang hafidz qur’an, karena saya pernah melihat video kegiatan tahfidz qur’an di rumah Bapak?”
“Saya tidak punya anak yang hafidz qur’an.” Jawab Wagubsu dengan jujur. “Saya memang mendirikan madrasah tahfidz dan berharap cucu saya bisa menjadi seorang hafidz. Saya juga punya cita-cita untuk mendirikan pesantren yang disana selain mendalami ilmu agama juga dibekali ketrampilan-ketrampilan hidup khususnya dibidang peternakan, perkebunan dan pertanian.”
Ali Napiah, salah seorang wali santri mengatakan bahwa diantara wali santri disini, ada yang sekampung dengan orang tua Pak Wagub. Beliau tersenyum senang dan menanggapi hal itu dengan berkisah tentang dari mana kakeknya berasal:
Kakek saya berasal dari Afganistan. Karena sering terjadi perang, kakek saya merantau, berlayar menumpang sebuah kapal dagang yang kemudian mendarat di Asahan. Karena tidak ada sanak saudara beliau tidur di masjid. Tak lama berselang, kakek bertemu dengan seorang pedagang kain yang juga sama-sama berasal dari Afgan. Oleh pedagang tersebut, kakek saya diberi pinjaman kain sebagai modal untuk berdagang.
Perjalanan waktu membawa kakek saya menetap di wilayah sekitar Perlanaan dan Perdagangan (sekarang masuk wilayah Kabupaten Simalungun). Karena kakek berpostur tinggi besar yang melebihi tinggi rata-rata penduduk setempat, tentu sosok kakek cukup dikenal. Oleh masyarakat sekitar, kakek dipanggil dengan nama ‘Tuan Kabul’. Kalau nenek, berasal dari Perupuk (sekarang masuk wilayah Kabupaten Batubara).
Kakek juga menguasai bahasa Arab dan ilmu agama. Hal ini membawa beliau berkenalan dengan Tuan Syekh Silau kakek dari ustadz Abdul Somad. Karena perkenalan ini, kakek sering berkunjung ke madrasah tuan syekh di Silau Laut untuk berdiskusi masalah agama, menimba ilmu pada Tuan Syekh dan menjadi guru mengaji. Untuk menafkahi keluarga, kakek menjual daging setelah tak lagi menjual kain.
Tak lama berselang, jalan sejarah berbelok secara drastis. Penjajahan Belanda digantikan dengan penjajahan Jepang. Orang Belanda yang sebelumnya menjadi penguasa terpaksa melarikan diri dan banyak juga yang ditawan pasukan Jepang. Namun ada juga yang terpaksa terus bersembunyi karena satu hal; tak sempat ikut melarikan diri namun berhasil lolos dari razia/penangkapan tentara Jepang.
Ada seorang anak Belanda yang mengalami nasib demikian. Oleh Tuan Kabul, anak tersebut dirawat. Setiap pulang dari jualan daging (berdagang), Tuan Kabul mendatangi tempat persembunyian anak Belanda itu dan memberinya makan.
Hari berganti minggu dan bulan berganti tahun, sejarah pun kembali berubah secara daristis. Jepang kalah perang dari tentara sekutu. Orang-orang Belanda dan pasukannya yang merupakan bagian dari sekutu kembali ke tanah jajahannya. Termasuk orang tua dari anak Belanda yang telah dirawat oleh Tuan Kabul. Melihat anaknya selamat dan diberi makan, orang tua si anak tadi merasa sangat bahagia. Ternyata ayah si anak Belanda itu adalah pemilik perkebunan yang luas di wilayah tersebut. Sebagai rasa sukacita dan ungkapan terimakasih, sang ayah mengangkat Tuan Kabul sebagai mandor di perkebunan miliknya. Karena dikenal jujur, Tuan Kabul juga mendapat kepercayaan mengelola keuangan kebun. Mulai dari sinilah perekonomian keluarga Tuan Kabul semakin membaik.
Ketika anak-anak Tuan Kabul lulus sekolah dan harus melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di Medan, Tuan Kabul memutuskan membeli rumah di Medan dan kemudian menetap disana.
Di penghujung acara Tak terasa waktu berlalu, sore terus beranjak mendekati maghrib. Acara silaturahmi akhirnya dipungkasi dengan foto bersama. Namun, sebelum beranjak, Bang Ijeck kembali berpesan kepada santri:
“Semangat belajar ya. Jangan salah bergaul. Pergaulan sekarang ‘Ngeri’; Narkoba banyak. Kalau pegang gadget, jangan lihat yang aneh-aneh. Belajar agama itu harus dengan guru. Jangan hanya sekedar lihat dari google.”
(Abdul Kahar Kongah)