Zulnas.com, Batubara — Khairuddin, 71, warga Jalan Merdeka Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Propinsi Sumatera Utara sudah 54 tahun berprofesi sebagai penjahit pakaian.
Bapak tujuh anak kelahiran Desa Ujung Kubu 13 Maret Tahun 1950 memulai usahanya sebagai tailor sejak masih muda tahun 1967 hingga kini tahun 2021.
Khairuddin menuturkan berprofesi yang digelutinya dilakukan dengan hobi dan dijalankan dengan ikhlas dan nyaman. Baju-baju yang dia jahit mulai dari baju sekolah, simbol-simbol, pakaian laki-laki hingga pakaian perempuan.
Biasanya, dimasa pandemi ini, dalam sehari, dia mengatakan mendapat order dua hingga tiga pasang pakaian, kadang juga kosong, namun ada juga yang minta perbaikan celana yang koyak dan lain sebagainya.
Saat mendekati lebaran, dia mengaku banyak orderan jahit dari pelanggan, begitu juga kala masuk masa pendidikan siswa baru dia juga selalu dibanjiri orderan.
“Selama 54 tahun sebagai tukang jahit pakaian laki-laki dan perempuan, tidak seluruh hasilnya dapat ditabungkan untuk ongkos naik haji, karena Ia pun harus membagi hasil menjahit untuk kebutuhan hidup menafkahi istri dan tujuh anak-anaknya hingga biaya pendidikannya,” tuturnya.
Khairuddin menceritakan, profesi sebagai tukang jahit memang menjadi keinginannya sejak tamat Sekolah Rakyat (SR) kala tahun 1963. Dia bersekolah di semobor yang kini nama Desa Lima Laras.
Setelah tamat sekolah, Ia kemudian berangkat ke kota Medan untuk belajar menjahit selama 17 hari untuk mengikuti pelatihan menjahit.
“Setelah tamat sekolah, saya bilang sama orang tua, saya ingin bekerja sebagai penjahit, jadi saya ikut pelatihan ke Medan, setelah pulang saya langsung menjahit pakaian dikampung,” kata Khairuddin kepada zulnas.com, Selasa (28/9/2021) dikediamannya.
Sebelum menjahit, dia menuturkan pernah menjadi petani dan berladang di Desa Ujung Kubu. Waktu itu, lagi musim paceklik, dia tamat sekolah, dan tak berapa lama dia banting stir mengganti profesi sebagai penjahit pakaian.

Waktu kecil, Khairuddin mengatakan ayahnya adalah seorang kepala desa. Pada masa itu, kepala desa diangkat oleh para tokoh-tokoh yang ada dikampung karena dianggap layak untuk dijadikan panutan.
“Ayahnya saya namanya Inga Ladi, ia diangkat sebagai kepala desa sejak tahun 1942 hingga 1968. Banyak warga menyukai sosoknya, hingga disegani sekampung,” ucapnya.
Sejak ayahnya meninggal, ia pindah ke Tanjung Tiram sambil bekerja sebagai penjahit dan mendapatkan istri bernama Dahnila, 65.
Pada tahun 2007, Ia kemudian membuka usaha sendiri sebagai penjahit dengan ukuran toko kecil memanfaatkan sisa tanah didepan rumah jalan merdeka.
“Sejak tahun 2007 hingga kini usaha saya hanya sebagai penjahit untuk menafkahi tujuh anak, dan biaya sekolah hingga tamat,” tuturnya.
Saat ini, semua anak-anaknya sudah tamat sekolah setingkat SMA dan ada juga kuliah di perguruan tinggi. Hingga kini, satu anaknya perempuan sudah bekerja sebagai bendahara di Universitas Asahan Kisaran, dan satu lagi menjadi bidan di rumah sakit Pringadi Medan.
“Jadi anak saya sudah bekerja semua, ada juga yang sudah menikah dan dibawah oleh suaminya,” tuturnya.
Soal pekerjaan, dia mengatakan sudah banyak pejabat yang ia jahit pakaiannya, mulai dari pakai sekolah anak-anak, pakaian kepala desa, pakaian camat, hingga pakaian setingkat kepala dinas yang di Batubara. Tuturnya.
Tak hanya itu, sebagai penjahit dia juga banyak teman dari berbagai lintas profesi, mulai dari nelayan, tukang ojek, pejabat hingga anak sekolah.
Selain itu, ia mengaku tetap menjaga kualitas jahitannya, untuk memuaskan para pelanggan yang selama ini menjahit ditempatnya. ***
