Zulnas.com, Batubara — Dalam dinamika politik yang kian memanas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Batubara 2024, muncul satu isu yang berhasil memicu perdebatan luas. Isu tersebut tak lain adalah pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Batubara, Erwin, mengenai ketidaklengkapan dokumen pengunduran diri pasangan calon (Paslon) 02, Baharudin Siagian dan Syafrizal.
Mereka, yang resmi menjadi peserta Pilkada, ternyata belum menyerahkan surat pengunduran diri dari jabatan mereka sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Di permukaan, tampaknya pernyataan Erwin hanyalah bagian dari prosedur biasa untuk memastikan kepatuhan administrasi. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada retorika yang menimbulkan banyak pertanyaan dan memicu perbincangan publik.
Dua hal yang tampaknya sederhana: pengiriman pemberitahuan oleh KPU kepada Paslon 02, dan pernyataan bahwa KPU akan berkoordinasi dengan otoritas yang lebih tinggi jika dokumen tak kunjung diserahkan, justru memperlihatkan kompleksitas yang lebih besar di balik layar.
Antara Penegasan dan Kelonggaran: Dimana Standarnya?
Ketika Erwin menyampaikan bahwa surat pengunduran diri Paslon 02 masih belum diserahkan hingga per tanggal 16 Oktober 2024, ia juga menyatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan pemberitahuan resmi. Poin ini seolah menunjukkan bahwa KPU sudah menjalankan tugasnya dengan benar dan sesuai prosedur.
Namun, di sisi lain, Erwin juga menambahkan bahwa KPU akan “berkoordinasi dengan pimpinan yang lebih tinggi” jika Paslon 02 tetap belum melengkapi berkas. Pernyataan ini mengandung kontradiksi yang halus tetapi mencolok: Jika sudah ada aturan tegas mengenai batas waktu penyerahan dokumen, mengapa harus menunggu keputusan dari otoritas lain?
Baca : KPU Batubara Sesalkan Ketidakakuratan Berita, Erwin Ingatkan Etika Jurnalistik
Kelonggaran ini kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar di kalangan masyarakat dan pengamat Pilkada: Apakah ada perbedaan standar dalam penerapan aturan bagi Paslon tertentu? Dalam berbagai Pilkada di tempat lain, keterlambatan pengumpulan dokumen semacam ini bisa berakibat pada diskualifikasi atau sanksi lainnya.
Namun, pada kasus di Batubara, Paslon 02 tampaknya diberikan lebih banyak waktu. Keterlambatan ini bukanlah soal teknis semata, melainkan cerminan bagaimana sebuah aturan bisa diinterpretasikan dan diterapkan secara berbeda.
Retorika yang Memancing Perspektif Berbeda
Pernyataan Erwin seakan mengirim sinyal yang berlawanan: di satu sisi, ia menegaskan pentingnya melengkapi dokumen administratif, namun di sisi lain, ada semacam sikap “menunggu” yang memberikan ruang bagi Paslon 02 untuk tetap bertahan tanpa sanksi yang jelas.
Kelembutan dalam penegakan aturan ini akhirnya memunculkan berbagai spekulasi di kalangan publik: Apakah ini bentuk perlakuan khusus? Apakah Paslon 02 mendapatkan keuntungan dari posisinya sebagai pejabat dan anggota dewan?
Tak bisa dipungkiri, retorika yang dilemparkan oleh Ketua KPU Batubara berpotensi menciptakan pandangan-pandangan berbeda di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang, pernyataan ini adalah sinyal ketidakpastian tentang integritas lembaga pemilihan.
Di mata yang lain, ini adalah bukti adanya celah dalam penegakan aturan yang seharusnya diterapkan secara tegas dan merata.
Kredibilitas Pilkada di Ujung Tanduk?
Keputusan KPU Batubara untuk tidak memberikan batas waktu yang tegas pada Paslon 02 mengundang pertanyaan lebih lanjut mengenai kredibilitas proses Pilkada itu sendiri.
Bagaimana masyarakat bisa percaya pada hasil pemilu jika syarat-syarat yang mendasar, seperti pengunduran diri dari jabatan, tidak dipatuhi oleh peserta Pilkada? Terlebih lagi, ketidakjelasan sanksi yang akan diberikan jika dokumen tersebut tak juga diserahkan, menambah ketidakpastian yang meresahkan.
Baca : Kontraversi Pernyataan Ketua KPU Batubara Erwin
Banyak pihak menilai bahwa KPU seharusnya bersikap lebih tegas dan tidak memberikan kelonggaran waktu yang justru mencederai rasa keadilan.
Apabila KPU terus mempertahankan sikap seperti ini, bukan tidak mungkin muncul dugaan bahwa lembaga tersebut tidak benar-benar netral dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.
Harapan Publik: Transparansi dan Keadilan
Kedepannya, KPU Batubara diharapkan bisa menunjukkan sikap yang lebih tegas dan transparan dalam menangani kasus semacam ini. Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin daerah, tetapi juga merupakan ujian integritas bagi lembaga penyelenggara pemilu.
Jika kemudian proses administratif dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan, maka kepercayaan publik terhadap hasil Pilkada bisa runtuh.
Pernyataan Erwin memang membuka diskusi tentang bagaimana aturan seharusnya ditegakkan. Namun, jika KPU ingin menjaga kredibilitasnya, sikap ragu-ragu seperti ini harus dihindari.
Kepastian hukum dan aturan yang tegas adalah fondasi utama untuk memastikan Pilkada berjalan sesuai dengan harapan masyarakat: adil, jujur, dan transparan.
Kini, masyarakat Batubara menunggu dengan cemas. Apakah KPU akan mengambil tindakan tegas? Ataukah situasi ini justru menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan Pilkada di masa depan? Waktu yang akan menjawabnya.
Namun satu hal yang pasti, dalam politik, persepsi publik adalah segalanya, dan di sinilah kredibilitas KPU sedang dipertaruhkan. ****Catatan zulnas