Zulnas.com, Batubara — Di tengah harapan membuncah akan pendidikan yang lebih baik di Kabupaten Batubara, langit mendadak mendung. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada pertengahan Maret 2025 mengguncang akar moral dunia pendidikan lokal.
Bukan hanya karena jumlah uang yang disita—Rp319 juta dari dana BOS tetapi karena siapa yang terlibat: dua figur penting yang seharusnya menjadi panutan.
SLS dan MK, masing-masing menjabat sebagai Ketua MKKS SMK dan SMA Batubara, ditangkap dengan bukti kuat: uang tunai dan dugaan pengutipan kepada para kepala sekolah. Dana yang sejatinya untuk anak-anak negeri ini, diselewengkan dari tangan kepercayaan publik. Tapi kisah ini tak berhenti di ruang penyidikan.
Saidatul dan Secarik Kertas yang Membakar Api Curiga
Seperti potongan film thriller, babak baru drama ini terbuka lebar saat Saidatul Fitri istri dari tersangka MK—muncul ke publik. Bukan untuk membela, tapi untuk menyerang. Di hadapan wartawan, ia menunjukkan secarik kertas bertuliskan kode dan angka-angka. Dugaan mengarah ke oknum Polres dan Kejari Batubara yang disebut-sebut sebagai penerima “THR”.
Baca : Dari Ruang Kelas ke Jeruji Besi: Kisah Ambruknya Digitalisasi Pendidikan di Batubara
Langkah Saidatul membuat riuh jagat Batubara. Bukan hanya soal keberaniannya mengungkap, tapi juga membuka kemungkinan kelindan sistemik yang selama ini tak tersentuh. Laporan ke Propam Polda Sumut telah dibuat, dan kini bola panas tak hanya berada di pangkuan Kejaksaan, tapi juga di pundak Polri.
Desakan Publik: Transparansi atau Hancurnya Kepercayaan
Ketua PWI Batubara, M Amin, bersuara lantang. Ia mendesak Kapolda dan Kajatisu menyikapi serius pengakuan Saidatul. “Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan. Ini penting untuk menjaga marwah institusi,” tegasnya.
Sementara Ketua IWO Batubara, Darmansyah, mengingatkan: “Jangan sampai ini menjadi bola liar.” Pernyataannya bukan tanpa alasan. Di tengah kemarahan publik, spekulasi mudah membesar. Satu-satunya jalan adalah membongkar kebenaran, seberat apa pun.
Luka yang Tak Terlihat: Kepercayaan yang Terkoyak
Bagi para guru, orang tua murid, dan siswa, kasus ini lebih dari sekadar kejahatan. Ia melukai nilai-nilai dasar yang mestinya dijunjung tinggi oleh institusi pendidikan.
Dana BOS bukan hanya soal anggaran, tapi simbol harapan bahwa setiap anak di Batubara punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kini, kepercayaan publik terguncang. Pertanyaan-pertanyaan lahir dari ruang kelas hingga warung kopi Apakah ini hanya dua nama, atau puncak dari gunung es yang lebih besar?
Akhir yang Belum Usai
Skandal ini mungkin baru dimulai. Tapi ia telah mengajarkan satu hal bahwa pengawasan dari masyarakat adalah benteng terakhir ketika integritas pejabat mulai pudar. Ketika suara jurnalis, aktivis, dan rakyat kecil bersatu, maka mustahil kebusukan bisa disembunyikan selamanya.
Batubara tak boleh diam. Karena sunyi terlalu lama, bisa menjadi kubur bagi keadilan.