Zulnas.com, Batubara — Presiden Jokowidodo telah mengeluarkan keputusan nomer 22 Tahun 2015 bahwa tanggal 22 Oktober sebagai hari Santri. Penetapan tanggal 22 Oktober itu merujuk pada tercetusnya ‘resolusi jihad’ yang berisi fatwa kewajiban berjihad demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Demikian dikemukakan bupati Batubara Ir Zahir saat membacakan pidato menteri agama RI melalui sekjen Nur Kholis Setiawan pada acara perayaan hari santri nasional di yayasan Almukhlisin simpang empat kecamatan Tanjung Tiram, selasa (22/10/2019).
Zahir menjelaskan resolusi jihad ini melahirkan peristiwa heroik yaitu pada tanggal 10 nopember 1945 yang setiap tahun kita peringati sebagai hari pahlawan.
Sejak hari santri ditetapkan pada tahun 2015, kita selalu menyelenggarakan peringatan setiap tahunnya dengan thema yang berbeda. Bahkan secara berurutan pada tahun 2016 mengusung thema dari pesantren untuk Indonesia.
“Pada tahun 2017 wajah pesantren adalah bagian dari wajah Indonesia, sedangkan thema nasional ditahun 2018 bersama santri damailah negeri,” Ucap zahir.

Saat ini, lanjut Zahir, thema santri ditahun 2019 mengusung santri Indonesia untuk perdamaian dunia. Isu perdamaian diangkat berdasarkan fakta bahwa sejatinya laboratorium perdamaian.
Sebagai laboratorium perdamaian, pesantren merupakan sebagai tempat menyemai ajaran Islam rahmatan lil’alamin. Islam ramah dan modern dalam beragama. Sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multi kultural.
“Dengan cara seperti inilah keragaman dapat disikapi dengan bijak serta toleransi dan keadilan dapat terwujud. Semangat ajaran inilah yang dapat menginspirasi santri berkontribusi merawat perdamaian dunia,” Terangnya.
Zahir menjelaskan bahwa alasan yang mendasar mengapa pesantren layak disebut sebagai laboratorium perdamaian yaitu;
Pertama, kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Perlawanan kultural dimasa penjajahan perebutan kemerdekaan, pembentukan dasar negara, tercetusnya resolusi jihad 1945, hingga melawan pemberontakan PKI.

Hal itu tidak terlepas dari peran kalangan pesantren. Bahkan sampai hari ini pun komitmen santri sebagai generasi pecinta tanah air tidak kunjung pudar. Sebab para santri masih berpegang teguh pada kaidah bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.
Kedua, metode mengaji dan mengkaji, selain mendapatkan bimbingan teladan dan transfer ilmu langsung dari kiai, dan dipesantren diterapkan juga keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas Mazhab.
Tatkala muncul masalah hukum para santri menggunakan metode Bahsul masail untuk mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara ilmiah sebelum menjadi keputusan hukum.
Ketiga, para santri biasanya diajarkan untuk khidmah atau pengabdian. Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan realitas kebutuhan sosial.
Keempat, pendidikan kemandirian, kerjasama dan saling membantu dikalangan santri karena jauh dari keluarga. Santri terbiasa hidup mandiri memupuk solidaritas dan gotong royong sesama pejuang ilmu.

Kelima, gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra dapat tumbuh subur dipesantren. Seni dan sastra berpengaruh pada prilaku seseorang, sebab, mengekspresikan prilaku yang mengedepankan pesan keindahan harmoni dan kedamaian.
Keenam, lahirnya beragama kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar untuk membahas hal-hal remeh sampai yang serius.
Ketujuh, merawat khazanah kearifan lokal, relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
“Pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjaga lokalitas ditengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis,” Sebut Zahir.
Kedelapan, prinsip masalah kepentingan umum sebagai pegangan yang tak dapat ditawar lagi, oleh kalangan pesantren.
Kesembilan, penanaman spritual tidak hanya soal hukum Islam, yang didalam banyak pesantren juga melatih para santrinya untuk Tazkiyatunnafs yaitu proses pembersihan hati, ini biasanya dilakukan dengan amalan zikir dan puasa. ****Zn