Zulnas.com, Batubara — Ketika hari Minggu seperti ini, dulu kami anak anak batubara menonton film India di bioskop Budi.
Di hari sabtunya kami sibuk mencari uang seratus dua puluh lima rupiah untuk beli karcis bioskop. Jika tak cukup kami merayu penjaga pintu bioskop agar diijinkan dua karcis tiga orang.
Film India yang diputar membuat kami anak anak geram. Bandit Pram Chobra berbuat jahat kepada mayarakat, berbuat tak senonoh ke hemamalini dan keluarganya serta menghabisi anak muda amitabachan.
Semua anak anak yang menonton terdiam geram. Sedih melihat penderitaan itu. Kami tak berdaya menolongnya.
Tetapi ketika amitabachan yang luluh lantak itu bangkit dan menunggangi kuda putih mengejar Pramchopra bandit busuk itu.
Bioskop tempat kami menonton film itu bagaikan runtuh. Suara bersorak, tepuk tangan dan bangku yang dibentak hentakkan riuh terdengar. Bahkan suara suitan saling bersambung Menyambut sang anak muda yang telah bangkit.
Tak ada hubungan darah apapun dengan hemamalini, tak tersangkut dengan amitabachan, dan tak akan pernah Pramchopra turun dari layar menghukum kami. Tapi kami bersorak riang “kebenaran telah datang”
Ya, siapapun dia, orang tua, pemuda dan terutama kami anak anak cinta kebenaran benci dengan kezaliman. Mungkin itu kenapa suara gemuruh bagai meruntuhkan bioskop terdengar sampai ke luar gedung.
Hati gembira kami keluar bioskop pergi ke ujung boom melihat orang yang tamasya ke pantai bogak menggunakan sampan tambang. Terlihat pengemudi tambang merayu para wisman, berlari membuka tali tambatan mendekatkan sampan ke arah penumpang yang agak gamang menjejakkan kakinya ke lantai sampan.
Tiba tiba satu rombongan turun dari truk, berpakaian warna warni yang mencolok, Spontan. ya spontan kami berteriak “woi… orang Kobun”. Sambil bersiap siap lari jika ada yang marah.
Suara itu suara ejekan spontan keluar dari mulut kami anak anak pinggir laut.
Begitulah berulang setiap Minggu sampai akhirnya suara itu tak terdengar hilang sama sekali di hari hari ini.
Begitulah suara generasi tua sampai ke yang muda, bahwa upah yang diterima kaum buruh perkebunan itu tidak adil dibandingkan bagi hasil nelayan. Ketidak adilan itulah yang disoraki.
Berapa banyakpun karet yang ditoreh upah tetap, sementara bertambah banyak ikan yang didapat perolehan pendapatan akan meningkat. Buruh diperkebunan dibayar upah, sedangkan di laut dibayar sesuai pembagian.
Terlalu panjang cerita ini hanya untuk menjelaskan bahwa hari hari ini para istri nelayan tidak lagi bangga dengan pekerjaan suaminya. Mereka para istri yang telah merasakan hidup bersuamikan nelayan jika bisa memilih mereka lebih menyukai menantu lelakinya buruh perkebunan dibandingkan seorang pemuda nelayan.
“Dulu, di mata kami mereka orang tertindas, tapi saat ini kami lebih jauh terlindas,” ujar Syamsul teman kecil sewaktu ke ujung boom sambil merenung nasib.
Ya ini kenyataan hari ini “di laut kita berjaya” hanya slogan di ujung bibir. “Poros maritim dunia,” Bak nyanyian sorga yang belum terwujud.
Bersabar dan tetaplah percaya pattirajawe ketika lahir dibawakan datu dayung sampan akan segera menyandar di pantai perobahan. ***Et