Zulnas.com — Sebenarnya, apa tugas dewan itu; penyambung aspirasi masyarakat, atau penyambung aspirasi personal.
Ini bukan tentang hidup. Ini cuma tentang karakter dari gesekan-gesekan sosial yang rasanya tak pernah berhenti menghampiri kita.
Tiba-tiba saja penyataan itu keluar mendesak dari kepala saya, ketika salah seorang dewan mengirimkan hasil scrinshot percakapan tentang problematika soal tenaga kesehatan yang belakangan membahas nasib mereka yang ingin mengikuti program pengangkatan P3K.
Otak saya memang tidak lebih istimewa dengan dari otak sesama korban polarisasi, serta-merta teringat kalimat tuntutan Nakes “Bagiamanalah Nasib Kami Ini Pak Bupati”,
Kalimat tersebut begitu riuh mengisi ruang-ruang perbincangan ketika para petugas medis itu mendatangi kantor DPRD untuk menyampaikan saluran aspirasinya.
Tuntutan sudah jelas, bagaimana dengan nasib mereka, bagaimana kami bisa mendapatkan Legalitas SK, bagaimana kami bisa meyakinkan pemerintah pusat bahwa kami sudah belas tahun bekerja di negeri ini, bagaimana ini,? Apa yang bisa kami perbuat agar kami bisa mengikuti program pengangkatan P3K karena kami mengabdi sudah cukup lama.
Ada hal yang mungkin terasa mengganggu dengan tuntutan seperti itu, baik kepada pihak pemerintah maupun dewan sebagai lembaga otoritas penyambung lidah rakyat.
Sejatinya, Dewan memiliki tiga fungsi, yaitu : Legislasi, berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah. Kewenangan dalam hal anggaran daerah(APBD) Pengawasan, Kewenangan mengontrol pelaksanaan perda dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah.
Lantas kemana fungsi-fungsi dan kewenangan itu, apakah persoalan Nakes bukan bagian dari tugas mereka, atau jangan-jangan mereka tidak peduli dengan itu, mereka hanya mengikuti nafsu purba untuk memuaskan hasrat mereka dengan jabatannya.
Setiap manusia tentu punya naluri, setidaknya dalam perasaan, mereka punya keluarga, punya saudara dan anak-anaknya, sayangnya mereka yang minta dipekerjakan sebagai tenaga kesehatan itu bukan dari kalangan keluarga mereka, bukan juga dari kalangan saudara, paling hanya bertetangga.
Perasaan sakit hati, merasa jauh dari pemenuhan hak atas keadilan, diabaikan dan dianaktirikan oleh negara, itu manusiawi. Kita dapat membicarakannya lain kali. Namun pertanyaan saya, haruskah diabaikan begitu saja, atau benarkan memang dewan sudah tak bisa diandalkan lagi?, Eh, entahlah saya Positive thinking’ sajalah.
Mohon jangan salah tangkap dengan pertanyaan saya itu, lalu menyimpulkan yang aneh-aneh bahwa saya sedang membela pihak ini dan itu.
Kegundahan saya itu lebih kepada realitas kondisi negeri ini. Saking lazimnya serta saking lamanya kita mengenalnya dalam hidup kita, seakan-akan dewan merupakan entitas yang taken for granted alias sudah begitu dari sono-nya.
Padahal, senyatanya tidak begitu.
Jika kita telusuri, problem tenaga kesehatan untuk dapat mengikuti program pengangkatan P3K atau pengangkatan sebagai pegawai ini bukan hal yang baru.
Penanganan masalah tenaga honorer sudah mulai dijalankan sejak tahun 2005, kemudian berlanjut pada 2012, 2018, 2019, dan 2021, dan terakhir tahun 2022 saat menteri PAN-RB dijabat oleh Abdul Azwar Anas saat ini.
Jadi, sebenarnya warning untuk pengangkatan non-ASN ini sudah lama. Tapi, ada fakta juga kalau non-ASN ini tidak ada, pelayanan-pelayanan kita bisa terganggu di kabupaten dan kota, di Indonesia
Disisi lain, memang pengangkatan P3K ini memang menjadi beban bagi pemerintah daerah untuk menyiapkan gajinya, akan tetapi bukankah pemerintah bisa lebih rasional dalam sektor penganggaran, anggaran infrastruktur yang tak begitu penting bisa saja dialihkan untuk penyelamatan nasib mereka. Semoga saja. ***