Zulnas.com, Batubara — Di negeri yang katanya “kaya sumber daya alam”, siapa sangka pasir pun bisa dicuri dengan rakus, bak seperti emas di dalam perut bumi tanah. Ironisnya, ini terjadi bukan di lautan lepas yang jauh dari pandangan mata, melainkan di depan mata sendiri di wilayah pesisir Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Propinsi Sumatera Utara.
Ya, di sanalah satu unit kapal keruk tanpa bendera, tanpa identitas, tanpa malu sibuk mengisap isi perut laut, menggantikan ombak yang dulu menenangkan menjadi amarah diam-diam dari alam.
Warga menyebutnya “kapal hantu pasir”. Tapi jangan salah, hantunya bukan gaib, ia berwujud besi, bermesin, dan mungkin punya teman di darat yang berpakaian rapi.
Ketika Pasir Lebih Berharga dari Nelayan
Di pesisir Batubara, nelayan bangun subuh-subuh demi seember ikan. Tapi di tengah laut, ada kapal yang bisa menghasilkan 10.000 meter kubik pasir dalam tiga hari. Siapa yang tak tergoda dengan bisnis yang lebih cepat dari panen sawit dan lebih basah dari janji kampanye?
Pasir kuarsa. Ya itulah harta karun yang selama ini diam di dasar laut, kini berubah jadi incaran. Padahal, bukan hanya batu dan butiran putih itu yang diambil, tapi juga masa depan. Laut jadi dangkal, karang rusak, ikan menghilang. Desa-desa di pesisir seperti Guntung, Bagan Arya, dan Bandar Rahmat tinggal menunggu giliran ditelan abrasi.
Izin? Ah, Itu Hanya Formalitas
Kata Awal Walet, warga Tanjung Tiram, kapal itu tak punya KKPRL, tak punya dokumen kapal, bahkan mungkin tak punya rasa bersalah. “Yang dibawa cuma izin nahkoda dan akta kelahiran,” katanya sinis.
Lucu, ya? Di negeri ini, seolah-olah mencuri pasir laut tak perlu surat apa pun cukup kenalan yang tepat dan keberanian menutup mata. Dan entah kenapa, kapal-kapal itu bisa bolak-balik dengan tenang, seolah laut Batuboara bukan lagi milik rakyat, tapi milik mereka yang pandai bermain di antara aturan.
Ketika Negara Bicara, Laut Sudah Retak
Padahal, Dirjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, Viktor Gustaaf Manoppo, sudah mengingatkan sejak tahun lalu:
“Belum ada satu pun izin resmi untuk pengerukan pasir laut sesuai PP Nomor 26 Tahun 2023.”
Artinya? Semua pengerukan itu ilegal. Tapi di lapangan, mesin terus berdengung, ombak terus terganggu, dan laporan masyarakat terus menguap seperti buih di pantai.
Entah di mana aparat laut yang katanya menjaga kedaulatan. Atau jangan-jangan, kedaulatan itu kini bisa ditukar dengan beberapa meter kubik pasir?
Laut yang Marah Tak Akan Diam
Bukan hanya nelayan yang akan kalah. Terumbu karang pun akan ikut mati. Pantai yang dulu tempat bermain anak-anak kini perlahan tergerus. Dan ketika ombak besar datang, jangan salahkan alam salahkan kerakusan kita yang tak pernah kenyang.
Sepanjang 62 KM Pesisir Batubara adalah garis kehidupan bukan ladang tambang bawah laut. Jika pasir kuarsa terus disedot, maka yang tersisa hanyalah laut keruh, pantai berlubang, dan sejarah baru tentang “bagaimana manusia bisa kehilangan lautnya sendiri.”
Sebelum Semua Terlambat
Kita tidak butuh pidato pejabat tentang “komitmen lingkungan.” Kita butuh tindakan nyata: hentikan kapal ilegal, buka data izin, dan tangkap pemain di balik layar.
Karena laut tidak bisa bersuara, maka kitalah yang harus bicara. Jangan tunggu pasir terakhir di pesisir Batubara lenyap, lalu baru kita sadar kita telah menukar masa depan anak-anak dengan tumpukan pasir di kapal asing.
Pejabat Batubara sedang diuji. Bukan soal seberapa banyak pasir yang bisa dijual, tapi seberapa lama lagi laut bisa menahan sabar. ****Dan.












