Zulnas.com, Batubara — Melalui pelabuhan Bogak Batubara pada tahun 1853 sebanyak 200 kapal perang Belanda mendarat menaklukkan kerajaan kerajaan di Sumatera timur.
Pasukan Belanda yang datang setelah menaklukkan kerajaan Siak, tidak mendapat perlawanan yang berarti dari kedatukan dan kerajaan yang ada di Sumatera Timur. Kerajaan kerajaan yang mau takluk menaikkan bendera kerajaan Siak.
Sementara, kedatukan Lima Laras dan kesultanan Asahan menaikkan bendera Aceh sebagai isyarat nyata tidak mau takluk kepada Belanda.
Perlawanan kedatukan lima Laras hanya seumur jagung, sementara perlawanan kesultanan Asahan sebagai anak kandung kesultanan Aceh berlangsung cukup lama dan memeras keringat penjajah Belanda.
Sultan Asahan ditangkap dan dibuang ke Betawi digantikan sultan kualuh ledong, namun perlawanan rakyat Asahan tak berhenti. Terpaksa untuk meredam kekacauan semakin meluas sultan Asahan dikembalikan ke Tanjung Balai.
Baca Juga : Sejarah Bogak, Kenangan Kota Pelabuhan Yang Hilang
Dan pada tahun 1942, kapal perang penjajah Jepang memasuki Sumatera timur melalui pantai sekarang dikenal dengan nama pantai sejarah. Kapal perang itu tak bisa mendarat di pelabuhan Bogak karena pelabuhan itu dibom Belanda agar tidak bisa digunakan Jepang.
Sejarah itu mengkhabarkan kepada kita bahwa laut batubara itu cukup dalam bisa dimasuki kapal perang Belanda dan Jepang.
Dari jejak sejarah itu menjadi sangat wajar jika di daerah ini dibangun pelabuhan hub internasional oleh pemerintah pusat.
Bukan saja eksport import satu pintu tapi juga lalu lintas yang cukup padat di perairan selat Malaka. Di selat ini, republik hanya sekedar “memandang” lalu lintas kapal tanpa mendapatkan apapun.
Kapal yang melintas sandar di pelabuhan Malaysia dan Singapura, lebih dekat dan murah dari pada harus mengisi air dan bahan bakar serta kebutuhan lain ke pelabuhan Tanjung Priok.
Peristiwa revolusi Sumatera timur 1946 yang dinyatakan sebagian orang sebagai “genosida” penghancuran satu suku kaum kerajaan menghambat dan memperlambat kemajuan daerah.
Dalam Peristiwa itu membunuh raja dan kaum kerabatnya yang nota bene adalah orang orang pesisir Sumatera timur yang mengenyam pendidikan.
Apakah pertanyaan yang sama patut kita lontarkan untuk kemajuan batubara di depan mata?, Genosida gaya baru?
Tanpa pendidikan yang mumpuni hampir dapat dipastikan rakyat batubara akan bersalin dengan kaum pendatang.
Yakinlah itu telah terjadi di Batam, pekan baru dan kota lain. Bakal kata pepata, Dimana Ada Gula, Kesitu Semut Datang. ***Et