Zulnas.com, Batubara — Di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, ribuan guru bersertifikasi tengah menghadapi dilema besar. Rencana Bimbingan Teknis (Bimtek) yang diwajibkan untuk mereka dengan biaya mencapai Rp 1,7 juta per orang, diambil langsung dari gaji mereka telah menimbulkan gelombang keresahan.
Di balik janji pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui pelatihan ini, terselip beban berat yang harus dipikul oleh para guru yang merasa tidak memiliki pilihan.
Beban Berat yang Tidak Terlihat
“Pemotongan tunjangan sertifikasi kami sebelumnya hanya Rp 300 ribu, tapi sekarang Rp 1,7 juta? Ini terlalu memberatkan,” keluh seorang guru yang enggan menyebutkan namanya.
Di balik wajahnya yang penuh keikhlasan mendidik, jelas tergambar kekhawatiran. Bagi banyak guru, angka Rp 1,7 juta bukanlah jumlah yang kecil, terlebih jika itu harus diambil dari gaji mereka sendiri.
Mereka harus merelakan potongan tersebut dengan alasan “pengembangan kompetensi”, sementara kebutuhan hidup sehari-hari juga terus mendesak.
Kabid GTK, Danil Gunawan, menyebutkan bahwa Bimtek ini adalah kewajiban bagi semua guru bersertifikasi, dengan alasan meningkatkan kualitas pendidikan di Batubara. Namun, alih-alih memberi solusi, keputusan ini justru menambah beban finansial yang harus mereka tanggung.
Yang lebih mengejutkan lagi, Kepala Dinas Pendidikan Batubara, Jonis Marpaung, membantah klaim adanya anggaran sebesar itu, seolah melempar tanggung jawab. Guru-guru pun dibiarkan dalam ketidakpastian.
Bimtek atau Beban?
Jika dilihat dari permukaan, Bimtek ini mungkin terdengar seperti inisiatif yang baik. Meningkatkan kapasitas guru, meningkatkan kualitas pengajaran, dan, pada akhirnya, memajukan pendidikan di daerah.
Namun, apakah itu sepadan dengan harga yang harus dibayar? Apalagi ketika harga tersebut dibebankan langsung kepada guru yang sudah bekerja keras mendidik generasi muda tanpa henti.
Pertanyaan mendasar yang mengganggu banyak pihak: Siapa sebenarnya yang diuntungkan? Apakah ini benar-benar tentang meningkatkan kompetensi guru, atau hanya formalitas program yang dilakukan untuk memenuhi target dan laporan semata?
Para guru tidak hanya mempertanyakan transparansi biaya, tetapi juga kualitas pelatihan yang akan mereka terima. Mengapa anggaran yang begitu besar harus ditanggung oleh mereka sendiri? Apakah tidak ada alternatif pendanaan lain dari pemerintah atau lembaga terkait?
Baca : Dilema Bimtek Guru Bersertifikasi di Batubara: Antara Pengembangan Kompetensi dan Beban Finansial
Kebijakan yang Melukai
Peraturan Bupati Nomor 47 Tahun 2021 menjadi dasar pelaksanaan Bimtek ini. Tetapi, di balik peraturan itu, terdapat perasaan tidak adil yang dirasakan oleh banyak guru. Mereka yang seharusnya mendapat dukungan penuh untuk berkembang, kini malah dibebani biaya tambahan.
Sebagai tenaga pendidik yang sehari-hari harus menghadap murid-murid dengan semangat, kini mereka menghadapi tekanan finansial yang membayangi kesejahteraan keluarga mereka sendiri.
“Ini bukan hanya soal uang, ini tentang perlakuan. Seolah-olah kami tidak dianggap penting, padahal kami yang berada di garis depan pendidikan,” kata seorang guru lainnya.
Kata-kata ini menggambarkan perasaan kecewa yang membuncah. Mereka merasa bahwa dedikasi yang mereka curahkan selama ini tidak mendapatkan apresiasi yang pantas. Sebaliknya, mereka dibebani dengan biaya pelatihan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Transparansi yang Dipertanyakan
Yang membuat kondisi ini semakin rumit adalah adanya ketidakjelasan dan ketidaksesuaian informasi antara pejabat terkait.
Danil Gunawan dengan yakin menyatakan bahwa anggaran Rp 1,7 juta per guru ini adalah bagian dari program yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan.
Namun, Kepala Dinas Jonis Marpaung dengan tegas membantah angka tersebut. Siapa yang sebenarnya berkata jujur? Di mana letak transparansi yang dijanjikan?
Para guru, yang seharusnya fokus pada pengajaran dan pengembangan diri, kini justru terjebak dalam birokrasi yang tak jelas. Mereka dipaksa mengikuti aturan yang tidak sepenuhnya mereka pahami, dengan biaya yang terasa memberatkan, tanpa ada penjelasan yang memadai tentang alokasi anggaran dan manfaat yang akan mereka dapatkan dari Bimtek ini.
Apakah Pendidikan Benar-Benar Menjadi Prioritas?
Ironisnya, di balik janji-janji manis tentang pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan, kebijakan ini justru menunjukkan bagaimana kesejahteraan guru sering kali diabaikan.
Para guru di Batubara, dan di seluruh Indonesia, adalah garda terdepan dalam menciptakan generasi penerus yang berkualitas. Namun, apakah mereka diperlakukan dengan layak?
Bimtek ini seharusnya menjadi ajang bagi guru untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan kompetensi. Namun, dengan cara pelaksanaannya yang membebani finansial, tujuan mulia itu tampak terdistorsi. Alih-alih mendukung mereka, kebijakan ini justru membuat guru tertekan, baik secara mental maupun finansial.
Kepedulian atau Kepentingan?
Pada akhirnya, kebijakan seperti ini menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas pemerintah dalam mendukung tenaga pendidik. Apakah benar pengembangan guru menjadi prioritas? Atau ini hanya upaya untuk menutupi kepentingan lain yang tidak sepenuhnya berpihak pada mereka?
Para guru di Batubara berharap pemerintah dapat mendengarkan suara mereka. Kebijakan pengembangan kompetensi guru harusnya dirancang dengan lebih adil, dengan mempertimbangkan kesejahteraan guru, bukan justru membebani mereka. Transparansi dalam pelaksanaan anggaran dan manfaat pelatihan harus menjadi perhatian utama.
Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, para guru layak mendapatkan dukungan nyata, bukan hanya slogan kosong. Jika pendidikan adalah prioritas, maka kesejahteraan guru harus ditempatkan di garis depan, bukan sekadar bahan wacana.
Sebab tanpa guru yang sejahtera, pend0idikan yang berkualitas hanyalah mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan. ****Zn