Zulnas.com, Batubara — Di ruang Paripurna yang biasanya penuh ketegangan dan perdebatan, suasana hari itu terasa berbeda. Wakil Bupati Batubara, Syafrizal, baru saja membacakan nota perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 dimana sebuah langkah yang diharapkan mampu memberi angin segar bagi sektor kepariwisataan daerah. Namun yang muncul kemudian bukan persetujuan atau pembahasan panjang, melainkan penundaan.
Adalah Chairul Bariah, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Batubara, yang tampil ke depan. Dengan lugas ia mengumumkan bahwa pembahasan Rancangan Perubahan Perda tersebut harus ditunda.
Alasannya terdengar rasional: adanya kemungkinan perubahan besar pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dari pemerintah pusat. Namun, di balik penjelasan teknis itu, terselip dinamika politik yang menarik untuk disorot.
Ketika Legislasi Bertemu Kalkulasi
Penundaan itu tidak terjadi di ruang hampa. DPRD bahkan menegaskan tidak akan membentuk panitia khusus (Pansus) untuk membahas ranperda tersebut.
Ini menandakan sebuah keputusan yang, dalam tradisi politik lokal, kerap dibaca sebagai penanda dinginnya hubungan antara legislatif dan eksekutif. Apalagi perda ini adalah usulan dari Pemkab di bawah kepemimpinan Bupati Baharuddin Siagian.
“Kami tidak mau terburu-buru. Kalau selesai hari ini, lalu aturan pusat berubah, semuanya percuma,” ujar Chairul Bariah sebagaimana dilansir Kilas8 usai sidang. Sebuah pernyataan yang terdengar teknokratik, namun menyimpan nuansa kehati-hatian politik.
Dibalik Kata Efisiensi, Terlihat Strategi
Chairul, yang juga Ketua DPD PAN Batubara, menambahkan alasan lain: efisiensi anggaran. Tapi publik tahu, efisiensi dalam politik kerap menjadi bungkus dari keputusan yang lebih kompleks.
Tidak sedikit yang menduga, DPRD tengah menyusun ritme sendiri dalam menyambut tahun-tahun politik yang akan datang. Dalam arena politik lokal, menunda bisa berarti menekan. Dan dalam konteks ini, menunda berarti mengatur ulang arah komunikasi antara eksekutif dan legislatif.
Eksekutif Melunak, Mengajak Bersinergi
Sementara itu, eksekutif mencoba meredam ketegangan dengan narasi sinergitas. Dalam pidatonya, Wakil Bupati menyebut pentingnya kerja bersama antar pemangku kepentingan demi kesejahteraan masyarakat Batubara. Tapi sinyal ajakan itu belum cukup kuat untuk mencairkan sikap hati-hati legislatif.
Menanti Babak Lanjutan
Yang menarik, DPRD justru menyatakan kesiapan penuh untuk membahas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Produk hukum ini memiliki bobot strategis tinggi dan tenggat waktu enam bulan. “Kami siap mengerjakan RPJMD,” ujar Chairul. Kalimat itu menjadi penegas, bahwa legislatif punya agenda sendiri, agenda yang tak selalu selaras dengan prioritas eksekutif.
Dalam politik lokal, setiap jeda punya makna. Setiap penundaan bisa jadi pesan. Dan dalam kasus ini, DPRD Batubara tampaknya tengah memainkan simfoni politiknya sendiri.
Akankah sinergitas yang diharapkan eksekutif menjadi nyata, atau justru bergulir menjadi babak tarik ulur politik. Entahlah. Waktu yang akan menjawab. ***