Zulnas.com, Labuhanbatu — Nama Guru Oemar Bakri melesat ke ruang publik lewat lagu legendaris Iwan Fals pada era 1980-an. Dalam bait-baitnya, sosok Oemar Bakri digambarkan sebagai guru sederhana yang mengajar dengan penuh pengabdian, meski hidup dalam serba keterbatasan—gaji kecil, fasilitas minim, dan dukungan yang nyaris tak ada. Walau bukan figur nyata, gambaran hidupnya sangat dekat dengan realitas keseharian banyak guru Indonesia.
Kini, empat dekade berlalu, “Guru Oemar Bakri” bukan lagi sekadar karakter dalam lagu. Ia telah menjelma menjadi simbol perjuangan para pendidik yang bekerja dalam senyap, berjuang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa meski berada di tengah ketimpangan sosial, ekonomi, dan fasilitas pendidikan yang belum merata.
Masih Relevan, Meski Zaman Berubah
Walau diciptakan puluhan tahun lalu, nilai-nilai yang diwakili sosok Oemar Bakri tetap terasa kuat. Banyak guru saat ini merasakan kondisi serupa: mengajar dengan sepenuh hati di tengah tuntutan zaman modern, namun masih menghadapi tantangan kesejahteraan, beban kerja tinggi, serta minimnya dukungan teknologi di sejumlah daerah.
Hal ini turut dirasakan oleh Apandi Romadon Harahap, seorang guru kejuruan di Rantau Prapat, Labuhanbatu. Ia menilai bahwa kisah dalam lagu tersebut masih hidup dalam realitas para pendidik masa kini.
“Umar Bakri adalah simbol perjuangan guru yang hidup sederhana dan kurang dihargai pada zamannya. Banyak kehidupan guru yang mirip dengan sosok itu,” ujarnya.
Pernyataan ini mempertegas bahwa figur Oemar Bakri tetap relevan sebagai representasi ketulusan dan pengabdian para guru di berbagai penjuru negeri.

Sindiran yang Tak Pernah Usang
Lagu “Guru Oemar Bakri” pada masanya merupakan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi pendidikan Indonesia. Rendahnya kesejahteraan guru, sarana prasarana yang terbatas, serta minimnya perhatian pemerintah merupakan isu yang masih ditemukan hingga kini, terutama di daerah-daerah terpencil.
Sosok Oemar Bakri mengingatkan bahwa di balik kesuksesan generasi masa depan, ada guru-guru yang bekerja ekstra tanpa pamrih. Mereka mengajar bukan hanya lewat buku pelajaran, tetapi juga lewat keteladanan, kesabaran, dan pengorbanan.
Mengangkat Martabat Profesi Guru
Lebih dari sekadar cerita dalam lirik lagu, Oemar Bakri telah menjadi simbol moral: bahwa profesi guru adalah pilar peradaban. Menghargai guru berarti menghargai masa depan bangsa. Masyarakat dan pemerintah diingatkan untuk tidak menutup mata terhadap perjuangan mereka—mulai dari kesejahteraan, pelatihan, hingga penyediaan fasilitas yang layak.
Pengingat Untuk Terus Berbenah
Sosok “Guru Oemar Bakri” menjadi cermin sekaligus pesan moral bagi semua pihak. Pengabdian para guru tak boleh hanya dipuja dalam lirik lagu atau momen peringatan Hari Guru. Perbaikan sistem pendidikan, peningkatan kesejahteraan, dan pemerataan fasilitas pembelajaran harus terus menjadi agenda utama.
Karena di setiap kelas di seluruh pelosok negeri, selalu ada sosok-sosok nyata yang hidup seperti Oemar Bakri: sederhana, tulus, penuh dedikasi—dan terus berjuang demi masa depan generasi bangsa. (Ceha).












