Zulnas.com, Batubara — Malam itu, angin laut tidak sekadar membisikkan gelisah. Ia datang dengan suara berat dan langkah lambat, menyelinap pelan-pelan dari bibir pantai menuju pemukiman, membawa serta gelombang yang tak biasa.
Warga Desa Bandar Rahmat dan Kelurahan Bagan Area, Kecamatan Tanjung Tiram, tidak segera menyadari bahwa laut yang sehari-hari mereka tatap dengan syukur, malam itu sedang mempersiapkan ‘kemurkaan’.
Di rumah-rumah kayu dan dinding semu beton, anak-anak tertidur lelap, para orang tua baru saja memejamkan mata, dan beberapa yang lain masih berjaga di musala dan masjid. Tetapi sekitar pukul sembilan malam, langkah laut menampakkan wajahnya. Air asin mulai menapaki teras rumah, menyusup ke celah pintu, dan menggenangi ubin yang belum sempat kering dari pel lantai sore tadi.
Gelombang tak menggulung tinggi, tapi ia merayap dalam senyap, meninggalkan jejak yang lebih menakutkan yaitu kepanikan.
Masjid tua di Bandar Rahmat yang selama ini menjadi tempat pulang bagi jiwa-jiwa yang mencari teduh tak luput dari amukan laut. Air masuk hingga ke ruang utama. Sejadah terendam, mukena basah, dan kitab suci harus segera diamankan.
Suf Miswan, Kepala Desa setempat, berdiri tertegun di depan mihrab yang kini digenangi air laut. “Ini bukan lagi hanya bencana, ini peringatan,” katanya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Di Kelurahan Bagan Area, keadaan tak jauh berbeda. sang lurah, menyaksikan warga bergegas membawa anak-anak dan barang seadanya keluar dari rumah. Jalan-jalan kampung menjadi danau sementara.
Di beberapa titik, genangan mencapai lutut orang dewasa. Gema azan yang biasa memanggil hati, malam itu digantikan oleh suara deru ombak dan jerit ketakutan anak-anak.
Dilokasi yang berbeda, di Desa Medang, Kecamatan Medang Deras, laut juga menunjukkan wajah serupa. Lima dusun dilanda kecemasan yang sama. Dusun Tangkahan, Teluk Baru, Bunga Tanjung, Kuala Sipare, dan Pematang Eru, semuanya dikepung oleh air asin yang menjelma menjadi kabar buruk.
Luqman, kepala desa, mencatat satu demi satu rumah yang terendam. Tujuh puluh? Seratus? Ternyata lebih: seratus tujuh puluh rumah, ditambah satu masjid yang kini hanya bisa dikenang dari foto-foto di dinding.
Banjir rob bukan hanya soal air yang datang dan pergi. Ia membawa serta hening yang membekas, dan kehilangan yang tak terhitung. Aktivitas belajar di sekolah-sekolah berhenti. Warung kopi tutup. Pasar desa senyap. Tak ada celoteh ibu-ibu di warung beras. Tak terdengar lagi suara bocah bermain gundu atau menendang bola plastik. Semua larut dalam satu kata: mengungsi.
Tapi yang paling menyayat adalah wajah anak-anak yang menatap rumahnya dari kejauhan. Mereka tidak tahu harus ke mana, hanya tahu bahwa tempat tidurnya basah, bukunya mengapung, dan sepatu sekolahnya telah hanyut.
Kini, air mungkin mulai surut. Matahari kembali muncul dari balik awan. Tapi luka-luka kecil itu masih menetap di hati. Masjid harus dibersihkan, rumah harus dikeringkan, dan semangat harus dikumpulkan kembali. Warga bekerja bahu-membahu, membersihkan lantai, menjemur barang, dan menyeka air mata yang kadang jatuh diam-diam.
Mereka menanti bukan sekadar bantuan logistik atau tenda pengungsian, tetapi perhatian yang tulus dari negara. Mereka butuh tanggul, sistem peringatan dini, dan kebijakan yang tidak hanya datang setelah bencana lewat.
Di pesisir Batubara, hidup adalah perjanjian abadi dengan laut. Tetapi malam itu, bak laut melanggar janjinya. ***Dan