Zulnas.com, Batubara — Dalam dunia birokrasi, sebuah kursi jabatan bisa tampak megah dari luar. Tapi tak banyak yang tahu betapa dinamis dan kadang berat—beban yang harus dipikul oleh orang yang duduk di sana.
Itulah yang mungkin dirasakan oleh tiga pejabat eselon II Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, yang dalam waktu berdekatan memilih mundur dari jabatannya.
Kurnia Lismawatie, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR); Rijali, Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD); serta Lendi Aprianto, Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim), adalah nama-nama yang cukup dikenal publik di Batubara.
Baca : “Di Ujung Masa Jabatan, Pj Bupati Batubara Menuai Tanya”
Mereka memimpin OPD yang strategis, menjadi penggerak utama pembangunan infrastruktur, pengelolaan keuangan daerah, dan penataan kawasan permukiman. Namun pada April 2025, ketiganya memilih jalan yang sama mundur teratur alias mengundurkan diri.
Alasan Pribadi: Klise, Tapi Masuk Akal
Bagi sebagian orang, alasan yang disampaikan ketiganya mungkin terdengar klise. Kurnia menyebut dirinya sudah non job usai menyerahkan surat pengunduran diri ke Bupati Batubara Baharuddin Siagian.
Rijali ingin merawat orang tua yang tinggal sendiri di Tebing Tinggi. Sementara Lendi memilih fokus mengurus anak-anaknya yang masih kecil.
Baca : “Aroma ‘Ikan Busuk’ di Balik Pelantikan Pejabat: Kritik untuk Kebijakan Pj Bupati Batubara”
Namun justru di balik alasan-alasan yang terdengar sederhana itulah, kita melihat sisi manusiawi dari birokrasi. Pejabat bukan robot yang hanya bekerja mengikuti perintah sistem.
Mereka adalah individu dengan kehidupan pribadi, keluarga, dan beban emosional yang tak selalu tampak dari balik meja kerja.
Tapi seperti biasa, di sela-sela situasi ini, muncul juga puak-puak labu yang gemar “nanya-nanya sok tahu” di warung kopi, di grup WhatsApp, atau bisik-bisik kantor.
Baca : Bupati Bahar Curhat dan Sindir Kinerja Birokrasi
Mereka merangkai teori konspirasi, membuat narasi seolah-olah ada drama besar di balik pengunduran diri tersebut. Padahal seringkali, mereka tak tahu apa-apa kecuali apa yang ingin mereka percayai dan mereka gali dari si sumber informasi.
Fenomena puak labu ini memang khas dalam budaya birokrasi lokal. suara-suara tanpa dasar yang lebih suka berasumsi daripada memahami.
Mereka tak tahu beban jabatan, tapi merasa berhak mengomentari setiap langkah pejabat. Sementara mereka yang benar-benar paham, memilih diam dan bekerja.
Fenomena yang Lazim, Bukan Luar Biasa
Pengunduran diri pejabat di tengah perubahan kepemimpinan atau pergantian arah kebijakan bukanlah hal aneh. Di banyak daerah lain di Indonesia, dinamika serupa terjadi.
Di Kabupaten Asahan, misalnya, pasca pelantikan bupati baru, hampir seluruh jabatan eselon II langsung dilelang. Sementara di tingkat provinsi, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution bahkan mencopot sejumlah pejabat sebelum melakukan seleksi ulang.
Baca : “DPRD Batubara Kritik Kebijakan Pj Bupati: Pelantikan Pejabat Dinilai Abaikan Etika Pemerintahan”
Artinya, mundurnya pejabat bukan selalu cermin dari konflik atau ketidakberesan. Kadang, ini justru bagian dari penyegaran. Atau bentuk kejujuran birokrat yang merasa sudah tak sejalan dengan arah baru pemerintahan.
Transisi Kepemimpinan dan Loyalitas Sistemik
Bupati Batubara Baharuddin Siagian adalah figur baru yang tentu membawa cara pandang baru. Di sistem birokrasi Indonesia, sangat lumrah jika pergantian kepala daerah diikuti dengan rotasi jabatan.
Loyalitas bukan hanya pada individu, tapi juga pada sistem dan arah kebijakan. Ketika merasa tak lagi cocok dengan ritme baru, mundur bisa jadi pilihan elegan, ketimbang bertahan dalam ketidakharmonisan.
Mengundurkan Diri Bukan Tanda Gagal
Dalam iklim birokrasi yang kerap dipenuhi intrik, langkah pengunduran diri kadang justru menunjukkan integritas. Pejabat yang tahu kapan harus berhenti adalah mereka yang memahami bahwa jabatan bukan segalanya. Ada waktu untuk bekerja, dan ada waktu untuk kembali ke kehidupan ‘yang nyata’, heee, pribadi, maksudnya.
Mundur, dalam konteks ini, bukan berarti kalah. Justru bisa jadi bentuk kemenangan kecil, kemenangan atas ego, atas ‘tekanan’ jabatan, dan atas kebutuhan untuk tetap waras dalam sistem yang penuh tuntutan.
Birokrasi Harus Tetap Bergerak
Kini, tiga kursi penting di Pemkab Batubara kosong. Ini menjadi tantangan bagi Bupati dan timnya untuk segera mengisi kekosongan itu dengan figur-figur baru yang mampu beradaptasi dengan visi pembangunan ke depan.
Karena birokrasi tak bisa berhenti. Tapi kita pun perlu memberi ruang untuk memahami bahwa di balik struktur, ada manusia. Dan kadang, manusia perlu memilih pergi demi kebaikan yang lebih besar meski tetap akan ada saja yang wak labu, nyinyir, dan salah paham. ****