Zulnas.com, Batubara — Di tengah semangat baru kepemimpinan Bupati Baharuddin Siagian dan Wakil Bupati Syafrizal, muncul kegelisahan yang kian terasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Batubara. Bupati Baharuddin menilai, sebagian besar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di bawah kepemimpinannya masih belum menunjukkan kinerja maksimal.
“Bupati ingin kerja cepat dengan lari 100, tapi pejabatnya masih lari 40,” begitu kira-kira analogi yang menggambarkan suasana birokrasi Batubara saat ini.
Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Setelah beberapa bulan menjabat, Bupati Baharuddin mulai melihat pola kerja lama yang masih membayangi kinerja para pejabat di lingkup pemerintahan. Sebagian OPD, menurutnya, masih mengikuti jejak dan kebiasaan eks bupati terdahulu, sehingga sulit beradaptasi dengan visi dan arah kebijakan baru.
Dari sisi politik, kondisi ini menunjukkan betapa kuatnya warisan pemerintahan sebelumnya. Dalam birokrasi daerah, loyalitas pejabat terhadap pemimpin sering kali menjadi faktor utama. Namun, dalam konteks pemerintahan Baharuddin–Syafrizal, loyalitas semata tidak cukup.
Bupati menginginkan perubahan mindset, bukan sekadar kepatuhan administratif. Ia menginginkan pejabat yang berpikir progresif, cepat merespons kebutuhan publik, dan mampu menjalankan program pembangunan tanpa menunggu instruksi detail dari pimpinan.
Namun, perubahan politik di tingkat kepala daerah memang tak selalu mudah. Sebab, di balik meja-meja kerja OPD, masih ada jaringan dan relasi lama yang terbentuk sejak pemerintahan sebelumnya. Pergeseran arah kebijakan bisa dianggap ancaman, bukan kesempatan.
Secara sosial, publik Batubara kini menaruh harapan besar pada duet Baharuddin–Syafrizal. Keduanya dianggap mampu membawa “angin segar” setelah periode transisi yang panjang. Masyarakat menunggu perubahan nyata, bukan sekadar janji politik.
Namun ketika kinerja OPD berjalan lambat, dampaknya langsung terasa di akar rumput. Program bantuan sosial tertunda, pelayanan publik tersendat, dan proyek pembangunan infrastruktur tidak berjalan sesuai target. Hal-hal kecil seperti pelayanan administrasi hingga penanganan masalah masyarakat desa menjadi sorotan.
Keadaan ini menciptakan jarak sosial antara semangat kepemimpinan bupati dan ekspektasi publik terhadap aparat pelaksana. Dalam situasi ini, masyarakat bisa menilai bukan hanya bupati, tetapi juga seluruh jajaran pemerintahan sebagai satu kesatuan yang harus bekerja cepat dan responsif.
Secara budaya birokrasi, perubahan di tubuh pemerintahan daerah sering kali terbentur oleh mentalitas status quo. Pejabat yang sudah lama menjabat merasa nyaman dengan ritme kerja yang “aman dan stabil”.

Budaya kerja lama ini ditandai dengan kebiasaan menunggu perintah, menghindari inovasi karena takut salah, serta berorientasi pada formalitas, bukan hasil. Bupati Baharuddin ingin mengubah itu, menciptakan kultur baru yang menekankan kecepatan, efisiensi, dan tanggung jawab kinerja.
Namun seperti pepatah lama, “mengubah kebiasaan lebih sulit daripada membangun gedung baru.” Perubahan kultur birokrasi memerlukan waktu, ketegasan, dan keteladanan dari pimpinan.
Dari sisi ekonomi, kinerja OPD yang tidak maksimal akan berdampak langsung pada realisasi program pembangunan. Lambannya penyerapan anggaran bisa menurunkan daya serap fiskal daerah. Akibatnya, target pembangunan seperti peningkatan infrastruktur, pemberdayaan UMKM, dan penguatan ekonomi masyarakat bisa terhambat.
Batubara memiliki potensi besar, terutama di sektor industri, pertanian, dan perikanan. Namun potensi itu tidak akan berkembang jika dinas-dinas terkait masih bekerja dengan pola lama. Dalam konteks ini, Bupati Baharuddin tampaknya ingin mendorong aparatur daerah untuk berpikir lebih cepat, bertindak lebih tepat, dan bekerja lebih terukur.
Meski kritik terhadap kinerja OPD terdengar tajam, langkah Bupati Baharuddin justru menunjukkan komitmennya terhadap reformasi birokrasi. Ia ingin memastikan bahwa aparatur pemerintah daerah tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan, tetapi juga motor penggerak pembangunan.
Sinyal bahwa akan ada evaluasi bahkan perombakan pejabat menjadi pesan serius. Baharuddin tampaknya siap menukar kenyamanan politik dengan hasil nyata bagi masyarakat.
“Kalau mindset tidak berubah, maka formasinya akan saya ubah,” demikian sinyal kuat yang beredar di lingkaran pemerintahan Batubara.
Batubara kini berada di persimpangan penting. Di satu sisi, ada semangat baru untuk mempercepat pembangunan, di sisi lain, ada bayang-bayang kebiasaan lama yang menahan laju perubahan.
Bupati Baharuddin ingin berlari 100, tetapi sejauh ini para pembantunya baru mampu 40. Pertanyaannya kini, Apakah OPD Batubara siap berlari lebih cepat, atau justru akan tertinggal dalam perubahan yang tak terhindarkan?, enathalah, kita lihat bagaimana sikap bupati selanjutnya. ***Dan












