Zulnas.com, Batubara — Di balik euforia reformasi yang melahirkan harapan baru bagi rakyat Indonesia, tersimpan cerita lain yang lebih suram. Kisah ini bukan tentang runtuhnya rezim otoriter Soeharto, melainkan tentang kelanjutan demokrasi yang terasa pincang.
Seiring waktu, demokrasi yang diidamkan seolah terjebak dalam pusaran kekuasaan dan modal. Ada harapan, tetapi mungkin semakin jauh dari kenyataan.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Lord Acton, “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup.” Ungkapan ini terasa sangat relevan dalam melihat wajah demokrasi Indonesia pasca-reformasi.
Meski sudah dibentuk tiga pilar negara — eksekutif, legislatif, dan yudikatif — ketiganya belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Sering kali, pilar-pilar ini tak lagi berdiri sendiri, tetapi dikuasai oleh satu pihak, entah itu eksekutif, pengusaha, atau cukong politik.
Jika di masa Orde Baru eksekutif mendominasi segala lini, hari ini keadaan pun tak jauh berbeda. Bedanya, kini para pengusaha besar dan pemodal ikut bermain. Pilpres, pileg, dan pilkada yang sejatinya menjadi pesta demokrasi, kini lebih menyerupai ajang investasi.
Masyarakat, terhimpit oleh kemiskinan, kerap kali menjual hak suaranya demi uang receh, tanpa menyadari bahwa masa depan mereka telah tergadai kepada cukong-cukong politik.
Apa yang kemudian kita dapatkan? Anggota legislatif yang dihasilkan dari proses demokrasi ini kerap kali tak memiliki kapasitas atau rekam jejak perjuangan rakyat. Mereka hanyalah produk dari kekuatan uang dan ambisi politik.
Partai politik pun menyambut kemenangan mereka dengan bangga, seolah-olah kader sejati telah lahir dari rahim demokrasi. Namun, berharap kepada mereka untuk membawa perubahan, rasanya sama saja dengan berharap kepada ketidakpastian.
Tak jauh berbeda dengan legislatif, pilar yudikatif juga tak lepas dari cengkraman korupsi. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah cerminan nyata ketidakmampuan institusi hukum kita dalam menegakkan kebenaran. Kasus-kasus besar seperti yang melibatkan Joko Candra menunjukkan bahwa bau busuk korupsi telah lama tersimpan, dan kini mulai tercium dari bilik-bilik kekuasaan.
Di sisi eksekutif, kekuasaan justru semakin terlihat seperti barang dagangan. Pernyataan Bambang Soesatyo yang menyebut bahwa hanya perlu Rp 1 triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia, adalah ironi yang menyedihkan.
Di level lokal, para cukong politik bahkan dengan mudah bisa “membeli” kursi kepala daerah. Masyarakat pun tak lebih dari pelengkap penderita dalam proses ini. Mereka lepas dari mulut harimau, masuk ke kandang buaya.
Namun, apakah semua sudah berakhir? Tidak. Harapan masih ada. Meskipun demokrasi kita terasa “terlanjur rusak”, solusi pasti ada. Mungkin ini bukan soal revolusi berdarah yang pernah dikhawatirkan, tetapi tentang reformasi yang lebih dalam. Sebab, seperti kata George Soros, jabatan publik bukanlah untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan rakyat.
Saat ini, kita hanya perlu bersabar. Demokrasi yang benar mungkin masih di tikungan jalan. Tapi, apakah kita siap untuk memperjuangkannya, atau kembali membiarkan demokrasi dijadikan alat oleh mereka yang berkuasa? Waktu yang akan menjawab. ****