Zulnas.com, Batubara — Sore itu, saya sempatkan mengunjungi lokasi pantai yang kaya akan mangrove dilokasi Kelurahan Bagan Arya, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Disini, hidup seolah berjalan beriringan dengan suara ombak. Lokasi ini berada persis di bibir Pantai Laksamana, sebuah kawasan pesisir yang sepanjang tahun menjadi saksi hantaman gelombang yang terus mengikis pemukiman masyarakat.
Namun di balik kerasnya alam, ada kisah ketangguhan, adaptasi, dan upaya terus-menerus masyarakat mempertahankan ruang hidup mereka.
Bagan Arya merupakan wilayah pemekaran dari Kelurahan Tanjung Tiram, dihuni oleh 364 kepala keluarga yang sebagian besar menggantungkan hidup sebagai nelayan.
Dengan luas 823 hektar, wilayah ini bukan hanya berhadapan dengan bahaya abrasi, tetapi juga dinamika ekonomi di mana sebagian besar lahan tambak dikuasai oleh nelayan dari luar daerah. Situasi ini membuat masyarakat pesisir setempat berada di antara dua tekanan, yaitu gelombang laut yang terus mendekat dan ruang ekonomi yang kian menyempit.
Di Bagan Arya, rumah-rumah kayu berdiri di atas tiang pancang, sebagian mulai rapuh, sebagian lainnya terus diperbaiki agar mampu bertahan satu musim lagi. Kayu lapuk, papan berderit, dan jembatan kecil yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya menjadi pemandangan sehari-hari.
Saat air laut surut, dasar lumpur yang dipenuhi sampah terlihat jelas menjadi catatan kelam tentang bagaimana lingkungan pesisir harus menanggung beban ulah manusia sekaligus tekanan dari alam.
Namun masyarakat Bagan Arya tidak menyerah. Mereka tetap hidup, bekerja, dan menjaga tradisi. Anak-anak berlarian di jembatan kayu, para ibu menjemur ikan asin, dan para lelaki bersiap mendayung atau menjalankan boat mesin kecil pada subuh yang masih gelap.
Di sela-sela pemukiman, akar mangrove masih terlihat mencengkeram kuat tanah yang tersisa. Dalam kondisi ideal, mangrove adalah benteng alami dari abrasi. Tetapi di Bagan Arya, mangrove seperti prajurit yang terus bertempur dengan bekal yang menipis. Sampah plastik yang tersangkut di akar-akar itu bukan hanya merusak pemandangan, tetapi juga memperlambat pertumbuhan dan regenerasi lingkungan.
Meski begitu, mangrove tetap memberi perlawanan. Akar-akar yang menjulur seperti tangan yang saling berpegangan menjadi penopang terakhir wilayah pesisir ini dari hantaman ombak.
Mereka menahan tanah agar tidak terus tergerus, sekaligus menjadi tempat berbagai satwa kecil hidup seperti udang, kepiting, dan ikan-ikan kecil yang kelak menjadi rezeki bagi warga.
Ekologi Bagan Arya yang berhadapan dengan Desa Bandar Rahmad tersebut adalah kisah pertahanan alam yang terus bekerja tanpa pamrih, meski perlahan melemah.
Beberapa tahun lalu, ketika Ir. Zahir, M.AP masih menjabat Bupati Batubara, ia sempat menyampaikan gagasan untuk melakukan perubahan nomenklatur Kecamatan Nibung Hangus menjadi nama lain yang dianggap lebih mencerminkan kearifan lokal.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menyinggung pentingnya meningkatkan status Kelurahan Bagan Arya menjadi desa. Tujuannya agar akses pembangunan lebih cepat melalui aliran dana desa.
“Nama Kecamatan Nibung Hangus sebaiknya diganti saja, sebab namanya kurang mencerminkan kearifan lokal,” ujarnya saat mencanangkan kampung nelayan menjadi kampung keluarga berkualitas di Desa Bandar Rahmad, Tanjung Tiram, pada 15 Desember 2020.
Ia juga menegaskan bahwa perubahan Bagan Arya menjadi desa diharapkan dapat mempercepat pembangunan yang selama ini tertahan.
Namun hingga kini, harapan itu belum sepenuhnya terwujud hingga menghabisi masa periodesasinya, Bagan Arya tetap menjadi kelurahan yang menanti perhatian lebih besar. Jalan-jalan papan, sanitasi minim, hingga permukiman yang kian terancam abrasi adalah pekerjaan rumah yang terus memanggil pemerintah agar bergerak lebih cepat.
Masyarakat Bagan Arya telah menunjukkan ketangguhan luar biasa. Mereka hidup di ruang yang sempit, di antara ancaman bencana ekologis dan terbatasnya peluang ekonomi. Namun ketangguhan semacam ini tidak seharusnya berjalan sendiri.
Mangrove telah berjuang menahan abrasi. Nelayan telah berjuang melawan gelombang demi membawa pulang hasil. Kini saatnya kebijakan yang berpihak, program pembangunan yang tepat sasaran, dan kesadaran menjaga lingkungan berjalan bersama agar Bagan Arya tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh.
Bagan Arya adalah cermin tentang bagaimana masyarakat pesisir Indonesia terus berhadapan dengan alam dan perubahan, namun tetap memilih bertahan.
Karena bagi mereka, laut bukan hanya tempat mencari nafkah ia adalah rumah, identitas, dan masa depan. ***(Dan).












