Zulnas.com, Batubara — Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan tanpa pengawasan pasti korup. Itulah sebabnya untuk meredam sifat rakus dan tamak dalam diri manusia agar tidak sewenang wenang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya setiap pemerintahan di negara demokratis harus selalu diawasi secara ketat.
Agar ada keseimbangan kekuasaan, dibentuk lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di zaman orde baru ketiga pilar ini ada. Namun eksekutif menguasai legislatif dan yudikatif.
Demokrasi ‘seolah olah’ ini tidak disenangi rakyat. Diwakili mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya gerakan yang dipupuk para tokoh ini meledak menjatuhkan pemerintah otoriter.
Patut disyukuri gerakan itu hanya menghasilkan reformasi tidak revolusi sebagaimana yang dikehendaki sebagian orang. Jika revolusi jalan yang ditempuh terlalu mahal harga yang harus dibayar generasi yang akan datang. Dendam sejarah akan terus berlanjut.
Namun sangat disayangkan reformasi tidak menuntaskan segalanya. Para tokoh muncul disetiap tikungan menjadi penumpang gelap reformasi.
Pilpres, pileg dan pilkada sebagai syarat demokrasi dimanfaatkan cukong dan pemodal untuk meraup laba. Masyarakat yang tersendera dengan kemiskinan menjual hak konstitusional dengan uang receh tanpa peduli nasibnya yang telah tergadai kepada pemilik modal.
Anggota legislatif yang dihasilkan pemilu dengan suara terbanyak cendrung tak terlatih, tak berkeringat, tak jelas rekam jejak perjuangan rakyat langsung ke Medan laga pileg.
Dapat dipastikan kekuatan uang sangat diandalkan. Hanya karena ingin menang tanpa susah susah melakukan pengkaderan. Jargon ‘tanpa mahar’ kata suci sebagai tawaran pembenaran. Perilaku parpol menghasilkan anggota legislatif bagai membeli kucing dalam karung.
Partai yang mencalonkannya gembira menyambut kehadiran dan kemenangannya. Klaim sebagai kader partai mengudara dari corong pimpinan yang bangga, kursi dan tokoh didapat.
Berharap banyak kepada anggota legislatif seperti ini sama saja berharap kepada ketidakpastian. Cacat sebelum lahir. Namun tidak semua seperti suara buram itu. Masih ada anggota dewan yang memiliki rekam jejak perjuangan rakyat, namun bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Baca Juga : APBD dan Hobi Pejabat
Berbicara tentang yudikatif, kita semua sudah mahfum, tak perlu berpanjang kalam. Lahirnya KPK indikasi nyata ketidakmampuan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Petinggi polri dan jaksa dalam kasus Joko Candra merupakan Khabar busuk yang tersimpan cukup lama dan sampai saat ini aroma menyengat keluar dari bilik dibawa para pesakitan.
Eksekutif banyak mata yang silau, karena kuasa titahnya diperebutkan dengan mempertaruhkan segoni gandum uang.
Bambang Soesatyo menyatakan bahwa hanya perlu Rp.1 triliyun menguasai partai politik di Indonesia. Tentu hanya beberapa milyar untuk menguasai sebuah kabupaten?
Pilkada kabupaten yang hanya diikuti 289.684 pemilih bagi para cukong tidak terlalu sulit. Jangankan hanya sekedar gerimis, hujan lebat pun tak sebanding dengan rente yang akan digenggamnya.
Para cukong tidak gratis mengeluarkan ongkos kampanye si komprador, tentu ada hitungan bisnisnya.
Rakyat bagai lepas dari mulut harimau masuk ke kandang buaya. Rakyat dalam demokrasi seperti ini hanya dijadikan pelengkap penderita.
George sorros yang pernah memporak porandakan ekonomi Asia mengatakan “jangan beri jabatan publik pada pengusaha, karena pengusaha orientasinya sudah tentu urusan profit”, Sedangkan jabatan publik fungsi sejatinya untuk kesejahteraan rakyat. Dua hal yang bertabrakan.
Penguasa yang membayar mandat rakyat membagi pampasan dengan cukong. Sekali pinjaman 78 Milyar rupiah dari PT. SMI yang disetujui dewan, pasti pelunasan pilkada tuntas dengan segala bunga yang ada.
Bahkan banyak pula penguasa sekaligus menjadi pengusaha.(Penguasaha).
“Terlanjur”, itu kata yang mungkin tepat mewakili demokrasi kita saat ini. Namun solusi tentang itu pasti ada. Bersabarlah. ***Et