Zulnas.com, Batubara — Ketika tanah batak musim paceklik, berbondong warga eksodus mengikuti aliran sungai Danau Toba. Di persimpangan sungai di daerah londut Labuhan Batu Utara sebagian mengikuti arus sungai ke Kualuh dan sebagian lagi terus mengikuti sungai ke kerajaan Asahan yang berada di Tanjung balai. (saat ini Kota Madya Tanjung Balai).
Konon ceritanya, pada saat itu peraturan bagi kaum pendatang diwajibkan dimelayukan (sunat rasul) dan menanggalkan (melepas) marga.
Pendatang dari Toba tanpa agama ini bersedia disunat rasul dan menanggalkan marganya serta mengganti nama dengan nama melayu.
Alkisah, Togar yang berusia belasan tahun itupun harus diganti namanya menjadi muslim. Pada saat penambalan nama, Togar selalu terkejut ketika muslim memanggil namanya dengan sebutan muslim.
Sejak saat itu, orang orang memanggil namanya muslim, tetapi dia sudah remaja panggilan orang orang kepadanya sering tak disahutinya. Dia sering lupa bahwa namanya muslim.
Togar dari kecil sampai remaja suka memakai gelang. Orang orang yang kesusahan memanggilnya akhirnya memanggil apa yang dipakainya. “margolang” (yang memakai gelang). Jika panggilan itu Togar cepat bereaksi. Lengketlah nama itu disandangnya.
Anak yang rajin tanpa upah mau menolong memikul beban, menajak ladang, belanja ke pasar dan berbagai hal dikerjakannya atas suruhan para petugas istana.
Bernasib baik, margolang diangkat jadi jongos (pesuruh) di istana Asahan. Seperti biasa ringan tulang mengantarkannya sampai jadi penjaga bilik peraduan sultan Asahan. Tugasnya, segala sesuatu di bilik peraduan itu menjadi tanggung jawabnya.
Sultan mempunyai kebiasaan tidak boleh siapapun membangunkan tidurnya, jika ada nyamuk menggigit dan terbangun karenanya maka telapak tangan sultan akan mendarat ke pipi margolang.
Berkali itu terjadi, berkali margolang mengaku salah tidak membasmi nyamuk dan lemah hati atas permintaan petinggi istana yang mau bertemu dengan sultan.
Begitulah 30 tahun margolang mengabdi di Istana. Suka dan duka dilaluinya dengan semangat pengabdi tidak henti.
Begitulah seterusnya..,
Satu hari dalam satu masa Sultan Aceh akan berkunjung ke Malaya bagian negeri jajahannya. Singgah sebentar di negeri Asahan.
Para rakyat datang berbondong, raja di sekitaran datang menghadap Sultan di balai di ujung tanjung. Semua ceria di kunjungi sultan perkasa penakluk negri.
Namun petinggi kerajaan gusar, hal yang sama terlihat di wajah panglima Aceh. Sampai segini siang, sudah banyak yang menghadap tetapi raja tempatan tak muncul batang hidungnya.
Panglima Asahan sudah bolak balik dari istana ke balai, tetapi raja tak kunjung datang. Berkali margolang dibujuk membangunkan raja, berkali margolang menunjukkan bekas parut dipipinya.
Sekali lagi panglima membujuk dengan mengungkit masa lalu dan menghitung masa depan, akhirnya margolang luluh. “Demi raja, panglima dan rakyat, biarlah aku yang berkorban,” ujar margolang dalam batinnya.
Masuk margolang ke bilik peraduan, terdengar nyaring dengkur sang raja. Diambil dan dipakainya tengkuluk sang raja. Margolang keluar disambut panglima, bergegas mereka keluar istana menuju balai di ujung tanjung.
Margolang singgah di rumahnya memberi Khabar ke istri tercinta seperti pertemuan terakhir dalam hidup. Sang istri tabah melepas suami sambil berbisik “Abang pantas memakai tengkuluk ini,” mengembang senyum dikedua suami istri itu.
Tiba tiba anak gadis jelita margolang datang meminta ikut serta. Belum sempat margolang menjawab dalam kebingungannya, sang istri mengijinkan anak gadisnya ikut menghadap Sultan Aceh.
Berangkatlah margolang dan anak gadisnya diiringi panglima dan prajurit kerajaan. Rakyat yang berbaris mengelu-elukan sang raja, namun ada juga yang berbisik, mengusap mata dan terlihat bingung.
Margolang menghadap. Panglima Aceh gusar bercampur geram, margolang pasrah. Dia tegarkan hatinya “demi rajaku” ujar margolang membatin. Dia terus melangkah, berhenti dan mengambil sembah dihadapan yang mulia Sultan Aceh.
Tangan panglima Aceh mengepal dan raut wajah menegang perlahan mengendur setelah dilihatnya Sultan Aceh. Ya. Hanya panglima yang telah puluhan tahun bersama dengan sultan yang tahu tanda tak terucap dari sultan. ****ET
Bersambung…
Nb : “Cerita ini hidup di tengah tengah rakyat, bisa benar bisa salah, tanpa tahun dan masa kekuasaan. Dalam Stambuk batak tetea bulan tidak ditemui silsilah marga margolang. Tetapi marga ini ada di Asahan Sumut. (Jika tulisan ini salah, penulis mohon maaf)