Zulnas.com, Batubara — Masjid Raya Al Mashun merupakan salah satu ikon dari Kota Medan. Masjid ini adalah saksi sejarah kebesaran Kesultanan Melayu Deli.
Terletak di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Masjid Raya Al Mashun berdiri kokoh dan megah. Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan antara gaya Timur Tengah, Spanyol, dan India.
Dilansir dari situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumatera Utara (Sumut), pembangunan masjid ini dimulai pada 1906 dan selesai pada 1909. Pembangunan dilakukan di masa Sultan Ma’mun Al Rasyid dan menghabiskan biaya sekitar 1 juta gulden.
“Masjid Raya Medan ini merupakan saksi sejarah kehebatan suku Melayu sang pemilik dari Kesultanan Deli,” tulis situs Disbudpar seperti dilihat detikcom, Jumat (14/5/2021).
Masjid ini berbentuk segi delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, utara, dan barat. Masjid ini disebut mampu menampung 1.500 jemaah.
Sejarawan dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Hendri Dalimunthe, mengatakan masjid ini memperkuat eksistensi dari Kesultanan Deli. Dia menyebut Istana Maimun dan Taman Sri Deli, yang berada di dekat masjid, awalnya berada di satu kompleks yang sama.
“Satu kesatuan, satu kompleks. Istana Maimun itu tempat pemerintahan tradisional Sultan Deli, Masjid Raya tempat ibadah, taman itu sebagai tempat bangsawan duduk di sore hari,” ucap Hendri.
“Masjid raya ini juga bentuk kemegahan dari Kesultanan Deli, itu dibangun di masa Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam. Jadi sultan ini yang membangun, dia juga yang menentukan siapa yang menjadi imam di masjid itu,” tambahnya
Dalam catatan sejarah, Hendri mengatakan antara Masjid Raya dengan Taman Sri Deli memiliki terowongan bawah tanah yang menghubungkan keduanya. Sedangkan Masjid Raya dan Istana Maimun tidak memiliki terowongan.
“Dari berbagai sumber, konon katanya, dari Masjid Raya ke Taman Sri Deli itu ada terowongan yang hanya bisa di akses petinggi-petinggi kesultanan,” tuturnya.
Hendri mengatakan, dari sisi warna, masjid ini memang tidak sesuai dengan Melayu, yang identik dengan warna kuning. Namun beberapa bagian di masjid raya ini menyimpan nilai kebudayaan Melayu.
“Dari warna memang tidak terlalu identik dengan budaya Melayu yang identik dengan warna kuning. Tapi mimbar di masjid menunjukkan Melayu di pantai timur. Ini semacam perkawinan konsep,” kata Hendri.
Dia kemudian menilai Masjid Raya sudah menjadi kebanggaan masyarakat Kota Medan secara umum, bukan hanya masyarakat Melayu. Dia menyebut masjid ini merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda.
“Dalam konteks hari ini, Masjid Raya sudah masjid milik masyarakat Kota Medan. Itu masjid peninggalan dari zaman kolonial yang hingga kini masih ada di Kota Medan,” jelasnya. ***