Zulnas.com, Jakarta — Perkembangan pengusutan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) kembali mencuat jadi sorotan publik setelah dugaan harta jumbo dalam LHKPN pegawai negeri eselon III Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo diusut KPK.
Bukan hanya laporan harta jumbo yang dinilai tak sesuai profil, Rafael pun diduga menyembunyikan asetnya dengan metode pencucian uang.
Dalam jumpa pers dengan jajaran Kemenkeu hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat dan Sabtu (10 dan 11 Maret 2023), Menko Polhukam Mahfud MD mengeluhkan soal kasus TPPU yang terbilang langka diusut penegak hukum.
Mahfud yakin jumlah kerugian negara di kasus-kasus pencucian uang jauh lebih besar daripada kasus korupsi. Oleh karena itu, dia mendorong aparat penegak hukum terkait untuk mulai mengusut kasus pencucian uang. Menurutnya, undang-undang sudah menyediakan ruang kepada aparat untuk mengusut tuntas kejahatan keuangan tersebut.
“Selama ini kita tidak pernah mengonstruksi kasus pencucian uang itu padahal kita punya undang-undang,” ujar eks hakim konstitusi itu.
Sejatinya dasar hukum pengusutan TPPU sudah diundangkan di Indonesia sejak 2002 silam lewat UU Nomor 15/2002. Dalam perkembangannya, beleid itu mengalami sejumlah perubahan dari 2003 hingga terakhir pada 2010 silam lewat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sejumlah peneliti dan pakar berpendapat jarangnya kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) diusut aparat penegak hukum lantaran kesulitan untuk menemukan tindak pidana asal atau predicate crime.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zainul Rohman mengatakan TPPU tidak bisa didalami dan ditindaklanjuti jika tidak terdapat tindak pidana asal.
“Kesulitan utama bagi para penegak hukum untuk mengusut TPPU adalah harus menemukan predicate crime atau tindak pidana asalnya. Kalau banyak indikasi TPPU yang tidak diproses hingga tuntas, menurut saya karena APH (Aparat Penegak Hukum) tidak bisa menemukan tindak pidana asal,” kata Zainur saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (15/3) malam.
Ia mengatakan tidak ditemukannya tindak pidana asal biasanya terjadi karena aparat penegak hukum kesulitan mencari alat bukti.
Dalam UU TPPU, ia menjelaskan ada sekitar 26 tindak pidana asal yang dapat dikenakan pidana pencucian uang. Tindak pidana itu mulai dari korupsi, narkotika, perdagangan orang, kepabeanan, dan lain sebagainya.
Meski demikian Zainur berpendapat tidak pidana asal seharusnya tidak perlu dibuktikan sampai ke tahap penuntutan atau pengadilan. Ia menyebut hal itu telah diatur dalam pasal 69 UU TPPU.
“Jadi predicate crime tidak harus dibuktikan lebih dahulu. Tetapi tetap harus ada. Maksudnya dibuktikan itu dituntut dulu dengan putusan bersalah, enggak harus seperti itu. Bisa langsung TPPU-nya. Tapi APH harus nemu predicate crime-nya,” kata dia.
Ia mencontohkan dengan kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo. Dalam kasus tersebut, kata dia, KPK sebelumnya memutuskan membuka penyelidikan terhadap Rafael setelah mengklarifikasi harta kekayaan sejumlah Rp56 miliar.
“Misalnya (kalau) ada alat bukti yang menunjukkan Rafael Alun melakukan korupsi, suap, kalau ketemu alat buktinya langsung saja TPPU-kan. Enggak harus menuntut dulu dari sisi tindak pidana korupsinya,” katanya.
Jerat peningkatan kekayaan secara tidak sah
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan berpendapat serupa. Menurutnya dugaan kasus-kasus TPPU yang jarang ditindaklanjuti itu tak lain karena faktor kesulitan aparat penegak hukum mencari pidana asal.
“Kadang-kadang kalau maju, ini ada (transaksi) mencurigakan, jangan-jangan ini TPPU. Tapi pertanyaannya, ya oke ini mencurigakan, lah kejahatan asal apa?” kata dia.
“Misalnya ada (transaksi) mencurigakan, ada orang lapor ke KPK, KPK kan hanya ngurusin korupsi, kalau kejahatan asal dari dagang narkotik kan bukan urusan KPK,” imbuh dia.
Dalam kasus Rafael Alun, Agustinus berpendapat itu bisa diproses jika di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memuat pasal terkait illicit enrichment atau peningkatan kekayaan secara tidak sah.
“Itu kan ada di konvensi antikorupsi (UNCAC). Sebagai negara yang tanda tangan konvensi antikorupsi, seharusnya kita atur itu, tapi kita selama ini enggak pernah mau,” katanya.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zainul Rohman berpendapat aparat penegak hukum bisa mempersempit ruang gerak seseorang yang terindikasi melakukan pencucian uang selagi mencari tindak pidana asal dalam proses penyelidikan maupun penyidikan.
“Jadi cara mempersempit ruang geraknya itu bisa menghentikan transaksi, bisa memblokir. Untuk menghindari adanya pengalihan terhadap saldo atau harta lainnya. Itu dilakukan dalam batas waktu yang sangat terbatas,” kata dia.
Namun, itu semua harus dilepaskan jika memang aparat tidak menemukan pidana asal (predicate crime) yang dilakukan seseorang terduga pelaku TPPU.
“Memang APH harus taat asas, taat aturan, susah gak sih? susah. Bisa gak sih? sangat bisa. Dengan UU sekarang, saya tetap optimis meski bukan hal yang mudah, tetap bisa dilakukan,” katanya.
Lebih lanjut, ke depan, Zainur mendorong agar segenap aparat penegak hukum di Indonesia diberi pelatihan untuk selalu menggunakan pasal TPPU dalam tindak pidana yang ditemukan adanya hasil kejahatan berupa harta kekayaan.
“Tekan mereka untuk gunakan TPPU dalam semua perkara. Tapi saya selalu katakan TPPU saja tidak akan pernah cukup, butuh RUU perampasan aset,” katanya.
Pekan lalu, Pakar TPPU dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih pun berpendapat aparat penegak hukum, terutama KPK, tidak terjebak dengan cara-cara lama, yaitu memidana badan pelaku korupsi. Padahal, ia meyakini koruptor telah menyelamatkan hasil korupsinya melalui pencucian uang.
“Harus progresif pemikirannya. Jangan malah mencari kejahatan asalnya dulu. Itu pikirannya para koruptornya. Koruptor berpikir kita melakukan korupsi supaya enggak ada jejaknya,” kata Yenti kepada CNNIndonesia.com, Selasa (7/3).
Yenti menambahkan, “Kalau sudah diputus, baru akan mencari TPPU-nya. Ya ampun, ya sudah hilanglah.”
Yenti adalah Ketua Panitia Seleksi Capim KPK Jilid V yang turut menyeleksi para komisioner lembaga antirasuah terpilih di DPR pada periode ini. Pada 2019 silam ketika memimpin Pansel Capim KPK itu, Yenti mengaku mencari calon pimpinan lembaga antirasuah yang lebih kuat di bidang penanganan TPPU.
“Termasuk kita juga dengarkan dari luar ya, bukan dari dalam saja. Antara lain TPPU-nya masih lemah, kan, itu pasti kita akan cari yang TPPU-nya yang lebih,” kata Yenti di Gedung KPK, Jakarta, 12 Juni 2019.
Para nama yang lolos dari seleksi Pansel itu kemudian disodorkan ke DPR untuk fit and proper test, dan hasilnya adalah Firli Bahurli cs di KPK saat ini. ***CNN
