Zulnas.com, Batubara — Di sebuah sudut senja yang menyelimuti Kabupaten Batubara, hiruk-pikuk pemerintahan tak pernah benar-benar hening. Tuan Heri Wahyudi Marpaung, penjabat bupati yang sementara ini memegang kendali, mungkin menyadari bahwa waktu adalah musuh yang diam-diam mengintainya. Namun, di balik perjalanan yang ia ukir, ada gema suara rakyat yang mengetuk, meminta ruang untuk didengar.
Tuan, kita tahu, jabatan ini hanyalah titipan. Ia bak perahu sewaan yang membawa penumpang dari satu dermaga ke dermaga berikutnya. Namun, izinkan kami bertanya, apakah perahu ini sedang menuju ke arah yang benar? Atau hanya berputar di lingkaran ombak, tanpa tujuan yang jelas?
Kabupaten ini adalah kabupaten pemekaran, banyak darah dan air mata menjadi saksi bisu akan perjuangan. dengan segala potensi dan permasalahannya, adalah tanah yang haus akan perhatian.
Tapi apa yang kami lihat selama ini sering kali adalah keributan di dalam kapal itu sendiri. Mutasi pejabat yang datang silih berganti, seperti daun-daun yang gugur di musim tak menentu, membuat kami bertanya-tanya: apakah perubahan ini sungguh bermakna, atau hanya sekadar formalitas untuk melengkapi berita?
Di jalan-jalan berlubang yang membelah desa-desa, suara klakson kendaraan seolah memanggil-manggil namamu, Tuan. Mereka berkata, “Kapan lubang ini akan terisi? Kapan jalan ini akan memberi rasa aman bagi kami?” Tapi, langkah perbaikan tampaknya masih tersendat, terhenti oleh belitan birokrasi yang tak berkesudahan.
Lalu ada soal tanah kami, Tuan. Tanah yang subur, yang seharusnya menjadi berkah, kini kerap menjadi beban. Pembangunan yang bergerak tanpa kendali sering kali mengorbankan lingkungan, merobek harmoni antara manusia dan alam. Apakah langkah-langkah kecil yang diambil pemerintah sudah cukup untuk menyelamatkan tanah ini dari kehancuran?
Namun, Tuan, kritik ini bukanlah tombak yang ingin melukai. Ia hanyalah lentera kecil yang berharap menerangi. Kami mengerti bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna. Tapi bukankah tanggung jawab seorang pemimpin adalah menjadi pendengar yang baik, dan bukan hanya pembicara yang piawai?
Lihatlah ke dalam hati rakyatmu, Tuan. Dengarkan suara petani yang mencangkul tanah dengan peluh yang tak pernah mengering. Dengarkan doa para pedagang kecil di pasar, yang berharap esok akan lebih baik daripada hari ini. Dengarkan juga kritik dari mereka yang barangkali tak kau sukai, sebab kadang kebenaran memang hadir dengan wajah yang tak ramah.
Batubara ini bukan sekadar nama kabupaten. Ia adalah rumah bagi ribuan jiwa yang menggantungkan harapannya pada setiap keputusan yang kau buat. Maka, sebelum engkau meninggalkan dermaga ini, tinggalkanlah jejak yang akan kami kenang sebagai warisanmu: bukan hanya pembangunan fisik, tetapi juga rasa percaya bahwa pemimpin kami benar-benar hadir untuk kami.
Tuan Heri Wahyudi, waktu memang tak panjang. Tapi kau masih punya kesempatan untuk membuat perubahan yang berarti. Dan jika esok nama kami terukir dalam sejarah, biarlah ia dikenang sebagai cerita tentang pemimpin yang mendengar, bergerak, dan mencintai tanah yang ia layani.
Dengan harapan, Kami, suara rakyat yang tak pernah padam. ****Zn