Zulnas.com, Batubara — Kedatukan pesisir setiap tahun menjelang ramadhan memotong lembu, masyarakat setempat membeli sepoho sepoho digantung di para para untuk dimakan selama bulan Ramadhan.
Para pedagang mengambil keuntungan dari menjual daging yang dibeli dari Simalungun. Ada jual lembu mati dalam perjalanan dan ada juga yang mati sebelum hari pemotongan. Di daerah itu ada ketentuan harus lembu Datuk pesisir yang pertama kali dipotong baru setelah itu lembu masyarakat. Lembu Datuk turun ke lokasi pemotongan diselempangi kain tujuh wono (warna).
Pedagang pintar tak mau merugi. Dibelinya lembu di Simalungun tetapi pembayaran pada saat lembu akan dipotong. Maka pemiliklah yang mengantarkan dan menjaganya di lokasi pembantaian. Bisa tiga malam lamanya.
Pada saat orang Batak itu menjaga lembunya, ada juga lembu yang lepas dan ada juga yang diambil orang lain. Menghindari itu orang Batak ini harus bergadang setiap malam di pondok yang dibuat sederhana di dekat tambatan lembu.
Para penjaga lembu takut tertidur meminta dibuatkan air tapai agar badan terasa panas, kantuk akan hilang. Didaerah itu tidak diijinkan minuman keras sejenis tuak.
Kala itu di daerah ini masyarakatnya petani. Di setiap ladang juga ditanam padi pulut. Tanaman padi pulut inilah divermentasi dengan ragi dipendam beberapa hari menghasilkan tapai yang penuh air. Sebagian dijadikan lemang.
Dengan adanya air tapai dan kue lemang para penjaga lembu ini tidak lagi ketiduran. Namun beberapa tahun kemudian terdengar Kabar ada seorang ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa fermentasi ragi dan pulut bukan saja menghasilkan tapai juga menghasilkan senyawa alkohol. Jika diminum atau dimakan hukumnya seperti meminum arak.
Suara fatwa ini makin lama tahun semakin nyaring, dan pada akhirnya sebagian besar masyarakat kampung sepakat tidak lagi memotong lembu punggahan agar tapai tidak lagi dibuat.
Pada tahun yang disepakati punggahan (memogang) memotong lembu sebagai tradisi ratusan tahun ditiadakan. Buat apa kita laksanakan jika haram yang didapat. Ujar beberapa kalangan.
Sebagian yang lain kecewa tidak ada lagi keramaian seperti tahun tahun yang lalu. Karena suara itu begitu lantang yang kecewa hanya terdiam.
Tahun itu ditiadakan pemotongan lembu, tiada pesta tapai yang meriah. Tetapi sejak satu hari sebelum ramadhan satu demi satu masyarakat setempat jatuh sakit. Demam panas tinggi, menceracau, ketakutan. Para dukun yang dipanggil mengatakan “ada sesuatu yang ditakutkannya” bahkan ada beberapa orang masyarakat menemui ajalnya.
Tahun kedua lebih parah. Lebih banyak masyarakat yang jatuh sakit. Di tahun ke tiga pesta kembali digelar. Tak ada masyarakat yang jatuh sakit. Sampailah sekarang ini.
Semua hewan buas menyenangi darah. Orang orang menggoreng darah yang telah membeku. Karena ada bibit penyakit di dalam darah maka Islam melarang mengkonsumsi darah.
Darah itu lezat. Setiap tahun tahun binatang buas penghuni hutan belantara datang memakan darah punggahan di pasisir dahari selebar.
Tetapi pada tahun itu tidak ada punggahan, tidak ada darah menetes, sementara binatang buas di tengah belantara secara siklus telah mencium aroma lezatnya darah punggahan. Binatang- binatang itu datang ke bibir kampung menunggu malam setelah hari punggahan.
Malam itu seperti tahun tahun yang lalu binatang- binatang itu mendatangi lubang punggahan. Binatang buas itu tak melihat setetespun darah. Tetapi lezatnya darah telah sampai kepenciumannya. Binatang- binatang itu mencari dimana darah punggahan.
Setiap rumah yang ada di kawasan itu didatangi, dilihat dari bawah kolong, digrabik dinding rumah, diintip dari celah dinding Nipah, masuk ke dapur. Kesibukan binatang ini terperocok dengan masyarakat sekitar yang sedang berdiam diri di rumah. Betapa terperanjatnya masyarakat yang bertatap langsung, bertemu, dan melihat dari celah dinding. Tak pernah terbayangkan mereka ada binatang seseram itu. Mereka menggigil dan jatuh lemas.
Satu hari menjelang puasa puluhan masyarakat jatuh sakit terkejut melihat binatang buas yang menggeranjangi rumah mereka. Bertatap langsung dengan binatang yang menakutkan.
Gemparlah kampung itu. Para tabib didatangkan, namun ada yang tak sempat tertolong.
Tahun kedua suara yang meminta pesta tapai dibuka kembali kalah suara dengan keluarga yang tak ketemu dengan binatang buas itu. Tetapi kejadian yang sama berulang dan lebih banyak masyarakat yang sakit. Dan ditahun ketiga sampai sekarang pesta itu tetap digelar.
Rahmah, penduduk desa pahlawan berasal dari puak sana mengatakan pesta tapai puluhan tahun yang lalu diramaikan dengan hadirnya “masyarakat kampung orang halus” yang tak jauh dari arena pesta tapai.
Orang orang halus ini menyerupai orang yang dikenal para pedagang. Walaupun jualan habis begitu banyak tetapi yang yang didapat hanya sedikit.
Begitu ramai pengunjung bisa secara tiba- tiba arena pesta tapai di sepanjang jalan umum pesisir itu sepi.
Demikian sekelumit cerita budaya pesta tapai diramu dari berbagai sumber. *** Effendi Tanjung