zulnas.com, Batubara — Hujan menetes pelan-plan, membasahi bumi yang sudah rindu akan segarnya udara pagi. Di sudut simpang Tiga, Kecamatan Talawi, kedai kopi sederhana berubah menjadi panggung kehidupan yang berdenyut.
Hiruk-pikuk suara pengunjung bercampur dengan bisingnya pengocok telur, tanda pagi itu bukan sekadar pagi biasa. Di sinilah Baharuddin, calon pemimpin yang penuh karisma, duduk bersama rakyatnya, menjalin cerita di antara tegukan kopi hitam pekat.
Dari sudut ruangan, ada yang mencuri pandang, mengambil foto dari kejauhan. Sosok Bahar terlihat sederhana namun berwibawa.

Senyumnya, senyum yang tulus, menyapa siapa saja yang menghampirinya. Di atas meja, pesanan kopi dan telur setengah matang menjadi saksi betapa sederhananya pertemuan ini.
Warga yang hadir bukan hanya sekadar minum kopi, mereka datang untuk berbincang, bercanda, dan saling mendengarkan.
Kardinu, seorang warga dari Desa Panjang, duduk di sudut warung, matanya tak lepas dari Bahar.
“Sosoknya bersahaja,” ujar Kardinu pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Bicaranya santun, rendah hati. Dia berbeda.” Bahar bukan hanya sekadar calon pemimpin, tapi juga seorang yang menghargai setiap manusia yang ada di hadapannya.

Pagi itu, Bahar tidak terburu-buru. Dia tak peduli dengan hujan yang turun, atau jadwal ketat yang mungkin menantinya.
Sebaliknya, ia terus berbaur, menyapa setiap tangan yang terulur, mendengar setiap cerita yang dilontarkan. Bahkan, setelah pertemuan singkat itu berakhir, Bahar dan timnya tetap tinggal.
Mereka tidak langsung pergi. Kardinu masih ingat betul bagaimana Bahar, dengan tenang, memungut sampah yang berserakan di sekitar tempat acara, sebuah tindakan kecil namun bermakna.
“Dia berbeda,” kata Kardinu lagi, suaranya kali ini terdengar lebih tegas. “Waktu Pilkada damai kemarin, paslon lain langsung pulang. Tapi dia tinggal, bicara dengan rakyat, memperhatikan detail kecil yang sering dilupakan.” Kardinu menghela nafas, matanya menerawang jauh, seolah berharap pagi itu akan terus berlanjut, menjadi saksi kesederhanaan dan kebersahajaan Bahar.

Hujan yang membasahi Simpang Tiga bukan hanya sekadar air yang jatuh dari langit. Ia membawa berkah, meresapkan harapan dalam setiap hati yang hadir.
Di bawah teduhnya atap kedai kopi, Bahar telah menanam benih harapan di tanah Batubara. Sebuah harapan yang mungkin akan tumbuh menjadi pohon kuat, memberi naungan bagi rakyat yang setia menanti perubahan.
Di akhir pertemuan, Bahar melangkah pergi, namun senyumnya dan kehangatan pagi itu tetap tinggal. Sesuatu yang sederhana, namun meninggalkan jejak dalam setiap jiwa yang hadir.
Bahar pamit sambil foto bersama warfa, dia menyalami warga dan langsung bergerak menuju Kecamatan Nibung Hangus sesuai agendanya.
Safrizal pendampingnya juga sibuk bercerita dengan warga. Sesekali dia berbisik agar suaranya terdengar karwna bisingnya suara. Dia mengajak bercerita semua warga di depannya, sambil menikmati kopi dan kue ringan. ****Zn












