Zulnas.com, Batubara — Pada malam yang hangat, di sebuah majelis Dzikir yang hening di Kabupaten Batubara, sosok Baharuddin Siagian tiba tepat pukul 19.00 WIB, setelah salat Magrib. Ia tak datang sekadar sebagai seorang kandidat Bupati yang sedang berjuang dalam kancah politik.
Lebih dari itu, Baharuddin hadir sebagai seorang putra daerah yang ingin menyapa masyarakatnya dengan kehangatan dan rendah hati, mengucap salam sembari mencium pipi Buya Syeh Muhammad Ali Idris, pengasuh tertinggi di majelis dzikir tarekat Naqsabandiyah.
Acara malam itu dimulai dengan makan bersama, sebuah adat yang sarat makna. Di tengah hiruk pikuk kampanye dan politik yang memanas, Baharuddin tampak tetap fokus pada nilai-nilai spiritual.
Dalam pidatonya, ia menyampaikan permohonan maaf kepada jamaah. Hari itu, ada tujuh agenda yang harus ia hadiri, namun ia tak ingin melupakan komitmennya untuk bertemu dengan masyarakat Batubara, kampung halamannya.
“Saya pulang kampung untuk membangun Batubara menjadi lebih baik,” katanya dengan suara penuh keikhlasan. Baharuddin paham bahwa menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara mudah. “Tingginya konselasi politik membuat saya harus tetap kuat,” tambahnya. Ia sadar betul bahwa untuk memimpin Batubara menuju kesejahteraan, dirinya memerlukan dukungan dan doa dari seluruh lapisan masyarakat.
Malam itu, Buya Syeh Muhammad Ali Idris pun memberikan wejangan yang mendalam. “Pilihlah pemimpin yang berketuhanan, bukan sekadar beragama,” ucapnya dengan tegas.
Sebuah pernyataan yang mengandung makna spiritual dan filosofis yang mendalam. Buya mengingatkan bahwa dalam kepemimpinan, seorang pemimpin harus memiliki hubungan yang kuat dengan Tuhannya. Hanya pemimpin yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan yang mampu membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya.
Kata-kata Buya mengalir seperti nasihat seorang guru kepada muridnya, menyiratkan bahwa seorang pemimpin yang sejati adalah pemimpin Ulil Umri Minkum, seorang yang memiliki amanah untuk mengatur kehidupan rakyat, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.
Buya menekankan tiga kriteria penting untuk memilih pemimpin: yang pertama, pemimpin yang berketuhanan. “Jika kita memilih pemimpin hanya berdasarkan agama suju atau ras, kita akan kacau,” ucapnya.
Kedua, pemimpin yang mampu berkolaborasi dengan rakyatnya. Baharuddin Siagian, kata Buya, adalah contoh pemimpin yang merakyat, yang siap mendengar dan melayani. Di zaman reformasi ini, tambah Buya, pemimpin haruslah seorang pelayan, sementara rakyat adalah rajanya. Setiap rakyat harus menjaga marwah dan wibawa mereka, agar tidak tercemar oleh politik uang.
Ketiga, pemimpin yang melayani masyarakat dengan tulus. Dalam pandangan Buya, Baharuddin memenuhi kriteria itu. Ia tidak hanya datang sebagai seorang kandidat yang menawarkan janji-janji politik, tapi sebagai seseorang yang memiliki niat tulus untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat Batubara.
Majelis malam itu ditutup dengan tepuk tangan yang hangat dari para jamaah. Ada harapan yang menggantung di udara. Baharuddin Siagian bukanlah sekadar calon pemimpin, ia adalah simbol dari perjuangan untuk mewujudkan cita-cita besar bagi Batubara—sebuah daerah yang lebih makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
Bagi masyarakat Batubara, figur seperti Baharuddin membawa angin segar. Ia datang bukan untuk menjual janji, tapi untuk menawarkan perjuangan bersama. Dan dalam perjuangan itu, spiritualitas dan komitmen yang kuat menjadi fondasi utama yang tak bisa ditawar, semiga. ****Zn