Zulnas.com, Labuhanbatu — Seorang mantan guru fisika mengenang salah satu muridnya yang dahulu kerap dianggap bermasalah di kelas. Nilai pelajaran fisika murid itu selalu rendah, bahkan lembar ulangan sering kotor oleh bekas oli dan cap jari hitam. Murid tersebut bernama Taufik.
“Nilai teorinya selalu sekitar 40. Hukum Ohm tidak paham, rangkaian seri dan paralel sering tertukar,” kenang sang guru. Namun satu hal yang tidak pernah lepas dari diri Taufik adalah tangan hitam berbau bensin tanda kesehariannya membantu memperbaiki motor teman-temannya di parkiran sekolah.
Pandangan guru-guru terhadap Taufik berubah drastis pada sebuah acara besar sekolah: Pentas Seni dan Perpisahan Kelas 9. Saat acara berlangsung, listrik tiba-tiba padam. Genset sekolah rusak, teknisi tidak berada di tempat, panitia panik, dan ratusan tamu undangan menunggu dalam kebingungan.
Di tengah situasi tersebut, Taufik berlari ke belakang panggung. Tanpa buku manual atau arahan, ia membongkar genset tua milik sekolah. Lima menit kemudian, mesin kembali menyala. Lampu panggung hidup, sistem suara berfungsi, dan lapangan dipenuhi tepuk tangan.
“Hari itu, Taufik yang nilainya 40 di kertas, mendapat nilai 1.000 di kehidupan nyata,” ujar sang guru.
Bertahun-tahun kemudian, kisah itu kembali terulang dalam bentuk berbeda. Sang guru mengalami mogok mobil di jalan tol akibat mesin overheat. Sebuah mobil double cabin berhenti untuk menolong. Di pintunya tertera tulisan Taufik Engineering Solutions.
Pria yang turun dari kendaraan tersebut adalah Taufik kini pemilik bengkel besar sekaligus kontraktor mesin. Dalam waktu sekitar 10 menit, mobil sang guru kembali normal. Bantuan itu diberikan tanpa meminta bayaran.
“Taufik mengatakan satu kalimat yang paling ia ingat adalah saat saya berkata, ‘Tangan kamu ini emas,’ ketika ia memperbaiki genset sekolah,” tutur sang guru dengan mata berkaca-kaca.
Kisah Taufik menjadi pengingat bahwa kecerdasan tidak selalu tercermin dari nilai akademik. Ada siswa yang unggul di balik meja ujian, dan ada pula yang cerdas melalui kerja tangan serta pengalaman nyata.
“Sekolah sering kali terlalu sempit mendefinisikan pintar,” kata sang guru. “Padahal, ada kecerdasan di ujung pena, dan ada kecerdasan di ujung obeng.”
Cerita ini menjadi refleksi bagi dunia pendidikan agar tidak memadamkan semangat siswa hanya karena mereka tidak unggul di atas kertas. Bisa jadi, merekalah yang kelak hadir menolong saat sistem dan mesin kehidupan berhenti bekerja. (Ce-Ha).












