Zulnas.com, Batubara — Penetapan calon kepala daerah yang berstatus tersangka dalam kontestasi Pilkada 2024 menjadi sorotan tajam publik, terutama setelah pernyataan tegas Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Mochammad Afifuddin. Pada Rabu, 25 September 2024.
Afifuddin dengan jelas menyatakan bahwa KPU tidak akan menetapkan calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Menurutnya, status tersangka tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan seharusnya tidak ditetapkan sebagai peserta Pilkada.
“Itu bagian dari persyaratan. Yang sudah memenuhi syarat ya sudah. Yang tidak memenuhi syarat kan tidak ditetapkan,” ujar Afif kepada awak media di Kompleks Parlemen. (Tempo 26 September 2024).
Ia bahkan menegaskan bahwa jika ada calon kepala daerah yang tetap ditetapkan meski berstatus tersangka, maka KPU yang salah. “Kalau dia ditetapkan, KPU yang salah,” tambahnya.
Namun, pernyataan Afifuddin ini seolah-olah bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, terutama terkait kasus salah satu calon bupati di Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, yakni Ir. Zahir. Zahir, yang berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi seleksi P3K Tahun 2023, justru tetap ditetapkan sebagai calon oleh KPU setempat. Keputusan ini menuai kritik, terutama dari masyarakat dan para pesaing politik di Paslon Nomir urut 1 didaerah tersebut.
Ketidakselarasan antara Pusat dan Daerah
Kisah ini membuka ruang diskusi yang menarik tentang kesenjangan antara keputusan di tingkat pusat dengan implementasi di daerah. Sementara Ketua KPU RI dengan tegas mengatakan bahwa calon tersangka tidak bisa ditetapkan, KPU di daerah justru meloloskan Zahir sebagai peserta Pilkada.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang konsistensi penerapan aturan dalam proses seleksi calon kepala daerah.
Perbedaan sikap antara KPU pusat dan daerah ini menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu, serta mencederai integritas Pilkada itu sendiri.
Publik mulai mempertanyakan, apakah peraturan yang dibuat oleh KPU pusat tidak diindahkan di tingkat daerah? Mengapa calon kepala daerah yang sudah berstatus tersangka tetap dapat lolos dalam seleksi?
KPK dan Tekanan Hukum
Kontroversi ini semakin memanas setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut bersuara. Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyebutkan bahwa KPK sudah mengirimkan surat kepada KPU terkait status calon kepala daerah yang tersandung kasus hukum.
Namun, KPK menegaskan bahwa bagaimana KPU menindaklanjuti surat tersebut sepenuhnya berada dalam kewenangan mereka.
Tessa menyatakan, “Nanti tinggal tergantung KPU atas informasi tersebut bagaimana mereka akan mengambil sikap.” Dengan kata lain, KPK hanya bertindak sebagai penyampai informasi, sementara keputusan final berada di tangan KPU.
Keputusan KPU Batubara yang tetap meloloskan Zahir, meski berstatus tersangka, menjadi preseden buruk dalam proses pemilu yang seharusnya mengutamakan integritas. Jika calon dengan status tersangka bisa tetap maju, hal ini berpotensi merusak citra Pilkada yang bersih dan demokratis.
Reaksi Publik dan Potensi Gugatan
Pernyataan Afifuddin bahwa calon tersangka yang tetap ditetapkan bisa digugat oleh lawan politiknya seolah menjadi sinyal bagi para pesaing Zahir untuk mengajukan gugatan. “Kalau ada yang tersangka dan tetap ditetapkan, dia bisa digugat oleh calon lain,” ungkap Afif.
Langkah ini menjadi peluang bagi calon lain di Kabupaten Batubara untuk mempersoalkan penetapan Zahir, dengan harapan dapat membatalkan pencalonannya melalui jalur hukum.
Namun, apakah gugatan tersebut akan membawa perubahan atau justru memperpanjang drama politik di daerah itu masih menjadi pertanyaan besar.
Pilkada dan Keadilan Hukum
Kasus ini menggambarkan tantangan besar dalam menjaga integritas pemilihan kepala daerah di Indonesia. KPU pusat sudah memberikan arahan yang jelas, namun tantangan terbesar adalah konsistensi penerapan aturan di tingkat daerah.
Kasus Zahir menjadi contoh nyata bagaimana aturan bisa diabaikan, dan bagaimana seorang calon kepala daerah dengan status tersangka masih bisa melenggang dalam Pilkada.
Apakah kasus ini hanya merupakan satu dari sekian banyak ketidakselarasan dalam Pilkada 2024, ataukah akan ada perbaikan serius terhadap penetapan calon kepala daerah ke depannya?
Eh, entahlah, payah cakaplah, Waktu yang akan menjawab, namun bagi masyarakat, harapan terhadap pemilu yang adil dan bersih masih terus menggantung di tengah kontestasi politik yang kian memanas. ***