Zulnas.com, Batubara — Dalam dunia politik lokal yang sering kali sarat dengan narasi strategis dan retorika formal, munculnya sosok Baharaduddin Siagian sebagai calon Bupati Batubara memberikan warna tersendiri.
Bahar, sapaan akrabnya, baru-baru ini menjadi sorotan publik melalui video viral di media sosial yang menampilkan dirinya berpantun—sebuah bentuk seni tradisional yang membangkitkan memori akan kebijaksanaan lokal sekaligus berpotensi mempengaruhi persepsi politik masyarakat.
Dalam video yang beredar, Baharaduddin tampak mengenakan kemeja putih, dilapisi rompi abu-abu tim pemenangannya, dikelilingi para pendukung setia.
Suasana terlihat begitu akrab saat Bahar bersiap meninggalkan lokasi kunjungannya di sebuah toko penjual ikan kering. Namun, sebelum beranjak, ia memilih menyampaikan pesan politik melalui pantun. Suaranya lantang, berirama, dan sarat makna ketika ia melantunkan:
“Kampak bukan sembarang kampak,
Kampak membelah kayu,
Menangkan suku Batak di daerah Melayu.”
Sekilas, pantun tersebut tampak sederhana, namun bagi masyarakat Batubara yang hidup dalam keberagaman budaya, kalimat itu menyentuh aspek sensitif dalam tatanan sosial politik.
Bahar secara halus, tetapi tegas, mengangkat isu kesukuan—sebuah topik yang acap kali menjadi diskusi hangat dalam kontestasi politik di wilayah yang dihuni berbagai etnis ini. Pantunnya seolah mengajak masyarakat untuk melihat identitas sebagai sebuah kekuatan, bukan penghalang.
Seni pantun yang digunakan Baharaduddin bukanlah hal baru dalam tradisi masyarakat Melayu. Pantun telah lama dikenal sebagai alat komunikasi yang mendalam, sering kali digunakan untuk menyampaikan nasihat, teguran, atau bahkan sindiran dalam bentuk yang halus.
Bahar tampaknya memanfaatkan kekuatan pantun ini sebagai sarana untuk menggerakkan emosional dan rasional pemilihnya. Dalam politik, strategi yang menggugah perasaan sering kali lebih efektif daripada sekadar menyampaikan janji-janji kampanye yang normatif.
Pantun sebagai Alat Politik
Ketika Baharaduddin bertanya kepada pendukungnya, “Setuju?” yang langsung direspons dengan pekikan, “Setujulah, hidup 02!”—terlihat jelas bagaimana pantun ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat politik.
Pantun tersebut menjadi medium yang memperkuat kohesi di antara para pendukungnya. Namun, di balik itu semua, ada strategi cermat untuk menarik simpati dan memperkuat dukungan di wilayah yang multietnis seperti Batubara.
Politik identitas, meskipun sering kali dianggap sebagai pedang bermata dua, tetap menjadi taktik yang kuat dalam kontestasi pilkada. Bahar, dengan keahliannya memanfaatkan seni berpantun, seakan ingin menyampaikan pesan bahwa meskipun perbedaan etnis ada, hal itu seharusnya menjadi kekayaan dan bukan sumber perpecahan.
Bahar seolah mengajak masyarakat untuk mendukung dirinya sebagai representasi dari pluralisme, sambil tetap mengangkat identitas suku sebagai bagian penting dari peranannya.
Namun, tak sedikit pula yang menyoroti penggunaan simbol kesukuan dalam pantun tersebut sebagai hal yang perlu diwaspadai. Ada kekhawatiran bahwa politisasi identitas etnis, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat menimbulkan ketegangan sosial.
Perdebatan ini mencerminkan betapa tajamnya politik kesukuan di daerah-daerah seperti Batubara, yang meskipun sudah lama hidup dalam keragaman, masih rentan terhadap isu-isu sektarian.
Menghidupkan Tradisi Melalui Kontestasi
Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, Baharaduddin Siagian berhasil membawa elemen budaya lokal ke dalam ranah politik. Di tengah hiruk-pikuk kontestasi pilkada yang biasanya penuh dengan retorika teknokratis, kehadiran pantun Bahar menjadi penyegaran. Ia mengingatkan kita akan kekayaan tradisi yang masih relevan dalam dunia modern, termasuk dalam bidang politik.
Pantun ini bukan sekadar kata-kata indah yang berirama, tetapi juga cermin dari dinamika lokal yang kompleks. Dalam pantunnya, Bahar menunjukkan bahwa politik tidak hanya tentang janji-janji pembangunan, tetapi juga tentang bagaimana seorang pemimpin mampu merangkul keberagaman dan menghidupkan kembali semangat kolektivitas di tengah perbedaan.
Pada akhirnya, pantun Baharaduddin Siagian adalah contoh bagaimana politik dapat dimainkan dalam berbagai level. Bukan hanya melalui strategi kampanye yang terstruktur dan formal, tetapi juga dengan pendekatan kultural yang lebih halus dan menyentuh.
Sebagai calon pemimpin, ia tampaknya memahami betul bahwa masyarakat Batubara tidak hanya ingin mendengar janji, tetapi juga ingin merasakan bahwa identitas dan budaya mereka diakui dan dihargai.
Apakah pantun ini akan menjadi jembatan yang menghubungkan masyarakat Batubara atau justru menciptakan sekat-sekat baru, waktu yang akan menjawab. Namun yang pasti, Baharaduddin Siagian telah menunjukkan bahwa seni dan politik bisa berbaur dengan indah, menciptakan nuansa baru dalam arena demokrasi lokal. ****Zn